TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan sedang mengkaji rencana pembangunan smelter nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menurut dia, ada usulan dari masyarakat agar pemerintah juga membangun smelter di daerah itu. “Memang ada aspirasi dari masyarakat di Papua, khususnya Raja Ampat, agar smelter dibangun di sana,” kata Bahlik di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Juni 2025.
Bahlil mengatakan masih menampung usulan tersebut. Menurut dia, sebelum membangun smelter nikel, diperlukan kajian analisis dampak lingkungan yang mendalam. “Di Papua, seperti halnya di Aceh, ada otonomi khusus. Jadi perlakuannya pun juga khusus,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Bahlil juga memastikan akan mengevaluasi sejumlah izin tambang yang berada di Raja Ampat. Salah satu evaluasinya menyangkut soal kesesuain dengan kajian analisis masalah dampak lingkungan. “Tambang-tambang ini sudah ada sebelum saya menjabat sebagai Menteri ESDM. Nanti kalau sudah ada perkembangan, saya akan sampaikan,” kata Bahlil.
Sebelumnya, Aliansi Jaga Alam Raja Ampat yang merupakan gabungan masyarakat sipil dan pelaku pariwisata, menolak ekspansi tambang nikel di wilayah tersebut. Menurut Koordinator Aliansi Yoppy L. Mambrasar, perluasan tambang nikel sedang berlangsung di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele, yang berada tidak jauh dari kawasan konservasi Raja Ampat.
“Raja Ampat bisa berubah menjadi kawasan bertopeng pariwisata, tapi bertubuh tambang nikel,” kata Yoppy dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 29 Mei 2025. Ia menilai pemerintah daerah dan pusat gagal melindungi wilayah ini dari industri ekstraktif yang merusak pulau-pulau kecil.
Yoppy juga menyoroti sikap pemerintah yang tidak konsisten menjaga kawasan konservasi di wilayah tersebut. Padahal, kata dia, Raja Ampat telah diakui sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark. Namun, dia melanjutkan, ekspansi izin tambang terus berjalan tanpa pertimbangan dampak ekologis yang ditimbulkan.
“Kerusakan terus terjadi, sementara pemerintah seperti tutup mata. Kita tahu, keputusan tambang adalah untuk keuntungan jangka pendek, tapi mengorbankan masa depan lingkungan dan masyarakat,” kata Yoppy.
Kabupaten Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau dengan kekayaan alam laut dan darat yang luar biasa. Perairan di wilayah ini diketahui menjadi habitat 75 persen spesies laut dunia, dengan 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan. Namun, menurut data yang dihimpun aliansi, sejumlah pulau kecil kini telah dibebani Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, bahkan sebagian di antaranya telah aktif ditambang.
Kekhawatiran Aliansi Jaga Alam Raja Ampat tergambar dalam sebuah video pendek yang dirilis Greenpeace Indonesia di akun instagram mereka. Video tersebut menampilkan salah satu pulau di Raja Ampat yang di tengahnya tampak bukaan lahan dan hutan yang telah ditebang.
Yoppy mengatakan penolakan ini bukan tanpa dasar. Mereka merujuk pada sejumlah regulasi nasional yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil dan kawasan pesisir, seperti UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang tambang pada wilayah yang dapat merusak lingkungan.
Yoppy juga menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023, yang memperkuat larangan tambang di pulau kecil. “Jika eksploitasi ini tidak dihentikan, maka bukan hanya ekosistem yang rusak, tapi juga masa depan anak cucu kita. Kami tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan yang adil, lestari, dan berpihak pada rakyat,” kata Yoppy.
Berdasarkan laporan majalah Tempo edisi 29 Agustus 2011, Keberadaan tambang nikel di Raja Ampat sebenarnya sudah berlangsung sejak dua dekade lalu. Pemegang izin tambang nikel di kawasan ini pertama kali adalah PT Anugerah Surya Indotama.
Bupati Raja Ampat saat itu, Marcus Wanma, mengizinkan perusahaan tersebut menambang nikel di Pulau Kawei. Izin juga diberikan kepada PT Kawei Sejahtera Mining di pulau yang sama. Selain di Pulau Kawai, PT Anugerah Surya Pratama juga mengantongi dua IUP di daratan Pulau Waigeo, yang total luasnya lebih dari 10.000 hektare, termasuk di Pulau Manuran.
Selain dua perusahaan tersebut, aktivitas tambang nikel juga berlangsung di Pulau Gag, yang hanya memiliki luas daratan sekitar 6.500 hektare. Kini seluruh pulau itu masuk dalam konsesi PT Gag Nikel dengan luas konsesi sekitar 13.000 hektare, mencakup wilayah darat dan laut.
Terbaru, pada September 2024, masyarakat Kampung Manyaifun dikejutkan oleh kehadiran PT Mulia Raymond Perkasa yang melakukan survei dan pengambilan sampel untuk tambang nikel di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Perusahaan ini diketahui telah memiliki konsesi IUP seluas 2.194 hektare, meski belum mulai beroperasi.