
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau pada Seri 1 kita menyaksikan bagaimana Infidels MC, geng motor Amerika berlabel Salib di dada, tiba-tiba nongol di Gaza dengan gaji setara direktur BUMN
Kini mari kita bongkar dapur tempat masakan busuk ini diracik. Namanya UG Solutions (UGS) —perusahaan keamanan swasta berbasis di North Carolina, AS.
UGS ini kelihatan seperti start-up keamanan: kantornya bukan markas militer, tapi aroma bisnisnya persis kontraktor perang model Blackwater di Irak.
Apa yang mereka jual? Jasa keamanan. Apa yang mereka pasarkan? Kekerasan.
Dan, Gaza jadi pasar sempurna: ada kerumunan lapar, ada konflik panjang, ada sponsor bernama Israel plus restu dari Washington.
Baca juga: Bentrok dengan Tentara Thailand, 24 Warga Kamboja Terluka
Tinggal kemas dengan jargon manis: "lokasi distribusi aman." Padahal, aman bagi siapa? BBC mencatat, sejak pos-pos bantuan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) dibuka, lebih dari seribu orang tewas di sekitarnya.
Jadi, aman bagi kontraktor —yang kantongnya aman— bukan bagi warga Gaza, yang nyawanya melayang.
Strateginya sederhana sekaligus licik: _outsourcing_ kekerasan dan kebiadaban. Dengan cara ini, Israel bisa tampil seolah-olah bukan pelaku.
Kalau ada warga Gaza ditembak saat ambil bantuan, Israel tinggal berkata: "Itu ulah kontraktor, bukan kami." Kalau kontraktor menembak, mereka bisa berkata: "Kami hanya menegakkan keamanan, tidak diskriminatif."
Baca juga: Program Magang Fresh Graduate Harus Mereformasi Pasar Tenaga Kerja dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Di sinilah letak jenius jahatnya: pemerintah Israel cuci tangan, perusahaan swasta cuci uang, dan geng Salib cuci reputasi mereka lewat kontrak dolar. Yang tidak bisa dicuci hanyalah noda darah rakyat Gaza. Bahkan, ada bumbu politik Amerika.
Investigasi BBC menemukan operasi ini didukung Presiden Donald Trump. Trump, yang terkenal menjual topi "Make America Great Again", kini geng motor rekanannya di Gaza mengibarkan spanduk: "Make Gaza Great Again." Satire Tuhan pun kalah kocak dengan kenyataan ini. Gaza, kota yang dipenuhi puing dan lapar, ternyata jadi catwalk slogan parodi.
Dalam literatur akademis, fenomena ini disebut privatisasi perang. Sejak Perang Irak 2003, korporasi keamanan swasta menjamur. Ada Blackwater, DynCorp, dan kini UG Solutions. Negara menggunakan mereka untuk dua alasan.
Pertama, efisiensi politik: lebih mudah mengontrak preman dibanding berurusan dengan hukum perang internasional. Kedua, efisiensi finansial: meski bayar mahal, tetap lebih murah daripada mengirim pasukan reguler lengkap dengan konsekuensi diplomatik.
Baca juga: Prabowo Lantik Mantan Pangkostrad Jadi Menko Polkam
Tapi Gaza menunjukkan sisi paling brutal dari logika ini. Privatisasi kekerasan berarti negara bisa "melepas" moralitas. Preman bergaji dolar bisa melakukan apa yang secara hukum tidak boleh dilakukan tentara reguler. Dan hasilnya: kekerasan jadi komoditas.
Di Gaza, bantuan yang seharusnya menyelamatkan malah jadi jebakan. Orang datang berharap tepung, pulang dengan luka tembak. PBB sudah menegaskan, lebih dari seribu anak, warga perempuan, dan laki-laki terbunuh di sekitar lokasi bantuan. Tapi, narasi resmi selalu bergeser.
Israel berkata: "Kami tidak sengaja." Sementara pihak UGS berkata: "Kami hanya menembak peringatan." Lalu geng motor Salib menimpali: "Kami cuma bekerja."
Lucu ya, dalam definisi mereka, "peringatan" bisa berarti peluru yang menembus dada anak kecil. Kalau begitu, definisi "bantuan" mungkin berarti mengatur antrean menuju liang lahat.
Baca juga: FIB UI Raih Penghargaan Tertinggi dalam Zone of Integrity Awards 2025
Di abad digital, kita sering percaya perang bisa dihitung lewat data: berapa korban, berapa biaya. Tapi di Gaza, perang juga dihitung dalam tarif harian geng motor. Dunia menyaksikan _outsourcing_ kebiadaban dengan tenang, seakan-akan tragedi ini hanyalah bisnis biasa.
Padahal, sejarah akan mencatat: di tanah di mana orang lapar mencari roti, ada geng motor Salib yang menjaga tepung dengan senapan, dibayar oleh perusahaan swasta, dilindungi oleh negara, dan diberkati politik.
Mungkin inilah puncak ironi: kematian dikelola sebagai proyek, penderitaan dikemas sebagai kontrak, dan perang dijalankan bukan oleh tentara, tapi oleh preman berjenggot yang bangga menyebut diri "Infidels."
Namun, di balik kontrak dan perusahaan keamanan, ada wajah-wajah manusia yang menjadi korban. Di Gaza, tidak ada malam yang betul-betul gelap. Langitnya dipenuhi cahaya aneh: kadang kilatan roket, kadang sulur api dari rudal yang jatuh, kadang sinar lampu-lampu darurat yang menyala di reruntuhan. Seperti panggung besar yang hanya mengenal dua warna —merah dan hitam.
Baca juga: BPS: Industri Pengolahan Jadi Penyumbang Terbesar Dapur Ekonomi di Depok
Saya teringat kembali pada kata-kata Prof. Jean-Pierre Filiu di Haaretz: "Ini bukan sekadar perang. Ini adalah upaya untuk menghapus sejarah, manusia, dan masa depan dalam sekali sapuan." Kalimat itu, bila kita resapi, adalah semacam doa yang dibalikkan, bukan untuk keselamatan, tetapi untuk peringatan bahwa dunia sedang menutup mata.
Tapi, yang paling mengguncang hati saya datang bukan dari sejarawan, bukan dari pakar, melainkan dari mulut para penyintas itu sendiri. BBC, dalam investigasi panjangnya, mencatat kesaksian orang-orang Gaza yang tersisa.
Ada seorang ayah yang berjalan puluhan kilometer menggendong anaknya yang terluka, sambil berulang-ulang berkata, "Saya tidak tahu ke mana harus pergi, tidak ada tempat aman di Gaza." Ada seorang remaja perempuan yang kehilangan seluruh keluarganya dalam satu malam, dan kini hanya menatap kamera dengan mata kosong, seolah dunia telah berhenti berputar.
Baca juga: Kendalikan Inflasi, Depok Mantapkan Strategi Ketahanan Pangan
Di sini kita berjumpa dengan sebuah fakta paling telanjang: tragedi ini bukan hanya statistik. Ia adalah daging, tulang, dan air mata. BBC menulis, "lebih dari sekadar perang, ini adalah krisis kemanusiaan yang tidak mengenal perbatasan moral." Laporan itu menunjukkan bagaimana rumah sakit diubah menjadi kuburan, sekolah menjadi tenda darurat, dan sungai kehidupan berubah menjadi lumpur penderitaan.
Saya membayangkan, bila suatu hari anak-anak Gaza menuliskan sejarahnya sendiri, mungkin mereka tidak lagi menulis tentang "perang" atau "blokade." Mereka hanya akan menulis satu kata: pengkhianatan. Sebab dunia telah gagal melindungi mereka, dan hanya segelintir yang berani menyuarakan keberanian seperti Filiu atau kejujuran analitis Francis Ghiles.
Seri ini, yang saya tutup dengan berat hati, bukanlah sebuah akhir. Ia hanya tanda koma dalam narasi panjang Palestina. Yang tersisa kini adalah pertanyaan kita masing-masing: maukah kita menjadi saksi yang jujur, atau sekadar penonton bisu dalam pertunjukan kebiadaban?
Pertanyaan lagi untuk kita semua: apakah tragedi ini hanya akan kita tertawakan pahit, atau justru kita biarkan jadi template perang masa depan — di mana siapa pun bisa menyewa geng motor untuk menjaga roti dari perut lapar?
Dan bila Anda bertanya, dari mana saya tahu potongan-potongan cerita ini, bahkan menyebut kata "Salib", maka saya jawab dengan jujur: sebagian berasal dari kesaksian sejarawan, sebagian dari analisis para pakar, dan sebagian —yang paling getir— dari hasil investigasi BBC. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 18/9/2025