Greenpeace: Industrialisasi Nikel Telah Mengeksploitasi Raja Ampat Papua

1 day ago 16

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai ketika Indonesia Critical Minerals Conference & Expo berlangsung di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025 untuk menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia dan empat pemuda Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyampaikan kata sambutannya. 

“Pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, di Papua. Save Raja Ampat,” demikian kata salah satu pemuda Papua berorasi sembari membentangkan banner. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tiga poster berwarna kuning dengan tulisan hitam yang mereka angkat di dalam ruangan. Spanduk pertama bertuliskan “What’s the true cost of your nickel?” kemudian “Nickel mines destroy lives” serta “Save Raja Ampat from nickel mining.”

Selain di dalam ruangan konferensi, ada pula spanduk dengan pesan yang dibentangkan di area pameran, memuat pesan yang sama. Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan sengaja mengambil momen ini karena para pelaku bisnis industri nikel dan pemerintah hadir dalam konferensi tersebut. 

Kerusakan akibat industri nikel, kata Kiki, sudah terlihat di sejumlah daerah seperti Halmahera, di Wawonii, di Kabaena. “Saat ini sudah mulai masuk di Raja Ampat, ada lima pulau yang sudah mulai dieksploitasi dan dibongkar. Selain itu adalah wilayah global geopark dan tempat paling favorit untuk wisata bawah laut, 75 persen terumbu karang yang bagus di dunia itu adanya di Raja Ampat dan saat ini mulai dihancurkan,” ujar dia saat ditemui di Hotel Pullman. 

Menurut Kiki, jangan sampai lingkungan dan hajat hidup masyarakat dikorbankan atas nama transisi energi, khususnya lewat hilirisasi nikel. Dia menilai bahwa masyarakat setempat menjadi korban berkali-kali atas eksploitasi nikel di Raja Ampat dan hanya menjadi penonton. “Sudahlah wilayahnya dihancurkan, ruang hidupnya dihancurkan, tidak ada lagi tempat buat mereka untuk hidup, untuk mencari makan, kemudian mereka pun juga ditutup mata pencariannya,” tuturnya. 

Berdasarkan penelusuran pada tahun lalu, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. 

Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Sejumlah dokumentasi juga menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, sehingga berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100 ribu. “Kami menuntut supaya pemerintah Indonesia menyetop, mencabut izin konsesi di wilayah Raja Ampat. Semuanya, di lima pulau itu,” kata Kiki. 

Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan Raja Ampat sedang dalam bahaya, karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau. Selain merusak laut yang selama ini menghidupi masyarakat setempat, Ronisel menyebut tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.

“Termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami,” kata Ronisel melalui keterangan tertulis Greenpeace Indonesia. 

Menanggapi aksi Greenpeace, Arif Havas menyebutnya sebagai aksi protes biasa. Menurut dia, isu lingkungan hidup memang jadi perhatian semua pihak saat ini. “Ya, protes biasa, oke aja. Gak ada masalah. Kan kalau kita bicara mengenai lingkungan hidup itu kan concern kita semua. Kami juga ingin punya suatu sistem penambangan yang environmentally friendly, yang socially responsible,” kata dia saat ditemui. 

Arif menyatakan, hilirisasi pertambangan harus memberikan benefit bagi masyarakat setempat. Dia menilai aksi protes Greenpeace dan empat pemuda Papua bukan suatu masalah, hanya saja caranya kurang dewasa. “Yang saya curious saja, gitu ya, adalah caranya kurang dewasa. Kalau memang dalam konteks ingin membuat policy yang lebih bagus, caranya kan dia diskusi, dialog, posisi dengan argumentasi-argumentasi yang kuat lah,” kata dia.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |