Jamaah Haji Furoda Tak Bisa Berangkat, Siapa Bertanggung Jawab?

1 day ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Calon jamaah haji furoda tahun ini tak bisa berangkat ke Mekah setelah sampai detik terakhir pelayanan, visanya belum dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi. Akibatnya, ratusan orang yang sudah mengeluarkan biaya ratusan juta -- termurah Rp 300-an juta sampai sekitar Rp 1 miliar, harus bersabar menunggu tahun depan.

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan keterlambatan penerbitan visa haji furoda bukan hanya dialami jamaah dari Indonesia saja, tetapi sejumlah negara juga merasakan hal serupa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasaruddin Umar di Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025, masih mengatakan bahwa Kementerian terus berkomunikasi dengan otoritas Saudi mengenai permasalahan tersebut agar segera menemui titik terang.

Sementara visa jamaah calon haji reguler dan khusus sudah terbit semua, meski pada saat awal-awal pemberangkatan terjadi keterlambatan penerbitan.

Pada Sabtu, 31 Mei 2025, sudah dipastikan jamaah haji furoda tidak bisa berangkat. Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj meminta publik tidak menyalahkan pemerintah atas tidak terbitnya visa jamaah haji furoda pada musim haji tahun ini, karena hal tersebut berada di luar tanggung jawab pemerintah dan murni menjadi urusan bisnis antara jamaah dan biro perjalanan..

“Visa haji furoda belum juga diterbitkan oleh otoritas Arab Saudi sampai batas akhir pelayanan. Ini bukan tanggung jawab pemerintah karena berada di luar kuota resmi,” kata dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap kuota resmi yang terdiri atas 98 persen haji reguler dan 8 persen haji khusus.

Sementara visa furoda yang dikenal sebagai visa mujamalah merupakan jalur undangan yang diurus langsung oleh travel dan tidak masuk dalam kuota nasional.

Kegagalan pemberangkatan jamaah furoda tahun ini, kata Mustolih, justru harus dijadikan momentum untuk menata ulang sistem penyelenggaraan haji jalur furoda melalui revisi UU Haji, yang akan dibahas pemerintah dan DPR setelah musim haji ini berakhir.

Dia menilai minimnya transparasi informasi terkait risiko dalam haji furoda dan kebijakan otoritas Arab Saudi yang bisa berubah sewaktu-waktu, juga patut menjadi perhatian bersama sebagai faktor penyebab kegagalan.

“Jadi pengaturan lebih lanjut tentang mekanisme, syarat, dan standar pelayanan haji furoda perlu segera dirumuskan agar ada kepastian hukum, dan perlindungan bagi jamaah dari potensi kerugian materiil maupun sosial,” kata dia seperti dikutip Antara.

Adapun bagi jamaah yang mengalami hal tersebut, Komnas Haji menyarankan segera menyelesaikannya secara musyawarah dengan yang memiliki otoritas, dikarenakan masih ada peluang untuk mendapat pengembalian dana, penjadwalan ulang, atau pengalihan ke kuota haji khusus.

Hal ini sebagaimana pernyataan dari sejumlah travel resmi, yang menurut Mustolih mereka telah menyatakan siap mengembalikan biaya jamaah calon haji secara penuh sebagai bentuk tanggung jawab dan menjaga reputasi meskipun harus menanggung kerugian besar akibat pembatalan keberangkatan tersebut.

Badan Haji: Jangan Tergiur

Ketua Umum Aliansi Pengusaha Haramain Seluruh Indonesia (Asphirasi) Amaluddin Wahab mengatakan dalam beberapa tahun terakhir visa haji furoda sudah keluar sejak bulan Syawal atau setelah Ramadhan.

Namun tahun ini, Pemerintah Saudi sama sekali tidak memberikan pernyataan.

Belum terbitnya visa furoda resmi ini juga menjadi sinyal bagi masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran berhaji dengan harga murah dan iming-iming berangkat dengan visa furoda.

"Saya minta masyarakat tidak tergiur dengan tawaran berangkat haji tanpa visa resmi, seperti jalur haji furoda yang tidak menggunakan visa haji dari Pemerintah Arab Saudi," kata Deputi Bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri Badan Penyelenggara Haji Puji Raharjo.

Dia mengatakan pada penyelenggaraan haji tahun ini Pemerintah Arab Saudi menerapkan kebijakan ketat dan disiplin, sehingga jamaah calon haji yang mencoba masuk dengan visa non-haji akan langsung dideportasi.

Puji Raharjo meminta masyarakat Indonesia untuk memastikan memegang visa haji resmi dari Pemerintah Arab Saudi sebelum berangkat ke Tanah Suci guna menjalankan ibadah haji.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko mengatakan bahwa layanan syarikah (perusahaan pelayanan haji) dan masalah perlindungan jamaah haji non-kuota harus dievaluasi untuk penyusunan Undang-Undang Haji.

Menurut ia, hingga saat ini pemerintah belum dapat menjamin perlindungan bagi jamaah haji yang berangkat melalui jalur visa nonkuota, seperti visa furoda atau mujamalah karena belum adanya payung hukum yang jelas. Skema itu masih berjalan dalam sistem business to business antara travel Indonesia dan pihak syarikah di Arab Saudi.

"Memang kemarin itu bisnis ke bisnis, jadi pemerintah tidak ikut langsung dalam proses visa furoda," kata Singgih.

Ia mengatakan DPR RI sedang mendorong agar warga negara yang berangkat haji lewat jalur nonkuota tetap mendapatkan perlindungan hukum dan layanan yang layak.

Menurut Singgih, selama ini pemerintah seakan tidak bisa melindungi mereka karena belum diatur dalam undang-undang.

"Nanti insyaallah dalam undang-undang yang baru semua itu akan terwadahi," kata anggota Tim Pengawas Haji DPR RI itu.

Ia menjelaskan bahwa pada penyelenggaraan haji 2024, hanya ada satu syarikah yang menangani seluruh jamaah Indonesia.

Untuk tahun ini, Pemerintah Arab Saudi menugaskan delapan syarikah. Namun, penambahan syarikah itu justru menimbulkan persoalan baru.

"Kita berharap pelayanan membaik dengan delapan syarikah, tetapi ternyata justru menyebabkan jamaah dalam satu kloter bisa terpecah. Bahkan ada suami istri yang dipisah penempatannya," katanya.

Singgih menambahkan DPR telah berkoordinasi dengan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag untuk membenahi sistem ini. Ke depan, distribusi jamaah akan berbasis pada embarkasi, bukan lagi per kloter, agar satu rombongan ditangani satu syarikah yang sama.

"Insyaallah nanti meskipun ada lebih dari satu syarikah, penanganannya akan berbasis embarkasi. Jadi, satu embarkasi ditangani satu syarikah agar suami istri dan keluarga tidak terpecah lagi," katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |