Kejagung: Pengamanan Kejari dan Kejati oleh TNI Sedang Berproses

1 day ago 18

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan personel TNI telah dikerahkan sebagai bentuk pengamanan di berbagai kejaksaan negeri (Kejari) dan kejaksaan tinggi (Kejati) di seluruh Indonesia. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar memaparkan pengerahan tersebut sedang dalam proses di berbagai Kejari dan Kejati seluruh Indonesia.

"Di daerah sedang berproses sesuai kebutuhan masing-masing," kata Harli saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Ahad, 1 Juni 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati demikian, ia mengaku tak mengetahui detail Kejari dan Kejati mana saja yang telah mendapat pengamanan dari TNI. Harli mengatakan bahwa pengerahan ini hanya untuk kebutuhan pengamanan di Kejari dan Kejati.

Sebelumnya Harli menyebutkan pengamanan oleh personel TNI ini untuk menjaga aset dan gedung kejaksaan. Ia mengatakan bahwa kerja sama antara TNI dan Kejagung juga tidak berkaitan dengan kasus tertentu yang sedang ditangani Korps Adhyaksa.

“Kejaksaan termasuk objek vital yang sangat strategis,” ujar Harli di kantor Kejagung pada Rabu, 14 Mei 2025.

Menurut dia, TNI juga memiliki wewenang menjaga objek vital negara, termasuk di antaranya adalah kantor kejaksaan. Harli mengatakan pengerahan personel TNI untuk mengamankan kejaksaan sudah berlangsung selama enam bulan.

Pengamanan kejaksaan oleh personel TNI itu mengacu pada Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 Mei 2025 dan Nota Kesepahaman NK 6/IV/2023 yang diteken pada 6 April 2023.

Isi dari telegram tersebut menyatakan TNI mendukung kelancaran dan keamanan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik di Kejati yang mengawasi hukum di tingkat provinsi, maupun Kejari yang menangani wilayah kabupaten/kota.

“Segala bentuk dukungan TNI tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur, serta tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku,” kata Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi melalui keterangan tertulis pada Ahad, 11 Mei 2025.

Kritik dari Masyarakat Sipil

Penggunaan personel TNI untuk pengamanan Kejari dan Kejati di seluruh Indonesia menimbulkan kontroversi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai perpres pelindungan jaksa tidak mendesak dan tidak dibutuhkan. Menurut mereka, Presiden Prabowo Subianto seharusnya dapat memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan atau meminta bantuan kepolisian, bukan tentara.

“Kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada. Tidak ada ancaman militer yang mengharuskan presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer (TNI) ke kejaksaan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulisnya pada Kamis, 22 Mei 2025.

Koalisi ini juga mencakup Imparsial, KontraS, dan Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia. Menurut koalisi, penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya dwifungsi TNI. Perpres itu membawa militer masuk jauh ke wilayah sipil, yakni ke kejaksaan. Mereka menilai kejaksaan adalah aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan serta kewenangan lain, sedangkan TNI mengurus pertahanan.

Menurut koalisi, perpres itu tidak menjadikan UU TNI maupun UU Polri sebagai rujukan pembentukannya. Padahal substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan kejaksaan. Konsideran Perpres 66/2025, kata koalisi, hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan perpres, sehingga perpres ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU TNI.

Perpres ini, menurut koalisi, juga sama sekali tidak menjelaskan secara jelas kategori OMSP yang dijadikan dasar keterlibatan TNI. Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis. Tugas dan fungsi kejaksaan tidak termasuk di dalam 16 jenis OMSP tersebut. “Hal ini tentu menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI itu sendiri,” katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |