Pro Kontra RUU KUHAP yang Ingin Segera Disahkan Pemerintah

1 day ago 20

TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah pro dan kontra, pemerintah berniat mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada tahun ini. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pengesahan RUU KUHAP harus selesai pada 2025.

"Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang RUU KUHAP harus disahkan pada tahun 2025 ini. RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP," kata dia dalam keterangan resmi pada Kamis, 29 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU KUHAP menuai sorotan publik karena mempunyai berbagai pasal yang bermasalah. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat setidaknya ada sembilan pasal dalam RUU KUHAP yang bermasalah.

Pertama, RUU KUHAP 2025 luput menjamin peradilan pidana akan berjalan akuntabel dalam merespons laporan tindak pidana dari masyarakat. ICJR menilai, aparat harus bisa mempertanggungjawabkan laporan atau aduan korban tindak pidana dengan alasan yang jelas. Menurut ICJR, pelapor atau pengadu hanya bisa melaporkan ke atasan penyidik atau pejabat pengemban fungsi pengawasan dalam penyidikan jika laporan atau aduannya tidak ditindaklanjuti seperti termuat dalam pasal 23 RUU KUHAP 2025. "Hanya sebatas laporan ke internal institusi penyidik yang diatur. Tidak ada jaminan apa tindak lanjut pasca pelaporan ke atasan penyidik tersebut," tulis ICJR dalam siaran persnya, 28 Maret 2025. 

Kedua, RUU KUHAP 2025 belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan menyediakan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat. "Satu-satunya pengawasan yudisial atas tindakan penegakan hukum masih dengan model usang praperadilan," kata ICJR.

Ketiga, RUU KUHAP 2025 belum mengatur standar pengaturan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. ICJR mencatat, pengaturan upaya paksa dalam RUU KUHAP 2025 yang paling bermasalah adalah tentang penangkapan. Pertama, Pasal 89 RUU KUHAP tentang syarat penangkapan tidak menjelaskan penangkapan harus berdasarkan izin pengadilan. "Seharusnya izin penangkapan harus dari pengadilan, bisa tanpa izin hanya dapat keadaan tertangkap tangan".

Keempat, RUU KUHAP 2025 tidak berimbang dalam mengatur peran advokat dan perluasan bantuan hukum yang belum memadai. Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP mengatakan advokat bahkan dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya. ICJR menilai,  pasal ini jelas bertentangan dengan berbagai ketentuan yang menjamin status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri.

Kelima, RUU KUHAP 2025 tidak menjamin akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus. ICJR berpendapat RUU KUHAP harus mengatur batasan dan standar-standar syarat pelaksanaan teknik investigasi ini dapat dilakukan sebagaimana dalam mengatur standar objektif mengenai persyaratan dapat dilakukannya penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.

Keenam, RUU KUHAP 2025 masih belum menyelesaikan masalah standar pembuktian yang tidak jelas, tidak menitikberatkan pada relevansi dan kualitas bukti, hingga ketiadaan prosedur pengelolaan bukti.

Ketujuh, RUU KUHAP 2025 masih belum mengatur batasan pengaturan tentang sidang elektronik. Menurut ICJR, RUU KUHAP yang ada saat ini belum sama sekali mengatur mengenai syarat, mekanisme, dan akuntabilitas pelaksanaan sidang secara elektronik.

Kedelapan, RUU KUHAP 2025 memuat pengaturan penyelesaian perkara di luar persidangan dengan nama restorative justice yang sangat minim pengawasan. Pasal 78-83 RUU KUHAP masih keliru mengira restorative justice merupakan penghentian perkara di luar persidangan (diversi). "Padahal RJ dan diversi adalah dua barang yang berbeda," kata ICJR.

Kesembilan, penguatan hak-hak korban, saksi, tersangka/terdakwa, dan hak-hak kelompok rentan dalam RUU KUHAP 2025 masih sebatas formalitas tanpa operasional yang jelas.Pasal 168 dan Pasal 169 RUU KUHAP diatur mengenai dana abadi untuk pembayaran ganti kerugian, rehabilitasi dan restitusi. "Namun justru dana abadi tersebut tidak diatur untuk dapat membayarkan restitusi korban tindak pidana," kata ICJR. 

Pengamat hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Rustamaji, mengingatkan DPR agar cermat dan berhati-hati dalam menyusun dan membahas RUU KUHAP. “Konsep baru dalam RUU KUHAP harus memperhatikan sinkronisasi kewenangan dalam integrasi proses penegakan hukum," ujarnya di Semarang, Senin, 27 Januari 2025.

Dia menjelaskan salah satu hal yang mengemuka dalam pembahasan RUU KUHAP adalah kemungkinan penghapusan penyelidikan yang tidak diformulasikan. Kondisi tersebut memunculkan berbagai potensi perubahan penegakan hukum dalam proses awal diketahuinya tindak pidana.

Menurut dia, penyidikan suatu tindak pidana yang tidak didahului dengan penyelidikan akan memunculkan masyarakat yang suka menuntut. “Masyarakat yang suka membawa seluruh permasalahan ke jalur hukum sehingga mengakibatkan addictive to law,” katanya.

Ahli hukum tata negara Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, mengatakan, reformasi KUHAP dapat dimulai dengan semangat kolaborasi antarsubsistem agar tercipta sistem peradilan pidana terpadu, baik antara penyidik, jaksa, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan. “Sinergi ini merupakan fondasi dari sistem peradilan pidana yang kuat dan kredibel. KUHAP harus menjadi instrumen untuk memperkuat sinergi ini, bukan malah menciptakan konflik kewenangan baru," ujar dia.

Sapto Yunus dan Fuza Nihayatul Chusna turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Peran Rekanan Pertamina dalam Kasus Korupsi Minyak Mentah

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |