FINA ZAHIRUL DZIHNI
Riset dan Teknologi | 2025-09-24 12:46:18
Surabaya, 15 Oktober 2023 – Kota Surabaya, yang dikenal sebagai kota pahlawan dan pusat perdagangan di Jawa Timur, kini dihantui oleh masalah lingkungan yang tak hanya merusak pemandangan, tapi juga menyerang indera penciuman warganya. Sungai seperti Sungai Kalidami, yang melintasi kawasan Gubeng dan Mulyosari, telah berubah menjadi lautan sampah dengan bau busuk yang menyengat. Timbunan sampah yang menumpuk dan pencemaran air sungai menghasilkan aroma amis, busuk, dan kimiawi yang tak tertahankan, berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga bantaran sungai. Ribuan keluarga di kawasan Gubeng, Mulyosari, dan permukiman sekitarnya terpaksa menahan penderitaan ini setiap hari, mengganggu kesehatan, aktivitas, dan kualitas hidup mereka. Latar Belakang Masalah Surabaya menghasilkan lebih dari 1.500 ton sampah per hari, menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya. Sayangnya, sebagian besar sampah ini berakhir di sungai akibat kurangnya kesadaran masyarakat dan infrastruktur pengelolaan yang belum memadai. Pencemaran sungai semakin parah karena limbah rumah tangga, industri, dan plastik yang sulit terurai, yang semuanya berkontribusi pada pembentukan bau tidak sedap. Saat sampah membusuk di bawah sinar matahari, proses dekomposisi menghasilkan gas metana dan hidrogen sulfida, menciptakan aroma seperti telur busuk bercampur limbah kimia. Akibatnya, air sungai berubah menjadi keruh, berbau menyengat, dan penuh dengan sampah mengambang. Warga bantaran sungai di daerah Gubeng dan Mulyosari, yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, nelayan, atau pedagang kecil, menjadi korban utama dari "serangan bau" ini yang menyelimuti udara sekitar. Dampak Kesehatan dari Bau yang Menyengat Bau busuk dari timbunan sampah dan sungai tercemar bukan hanya mengganggu, tapi juga mengancam kesehatan secara serius. Aroma menyengat ini mengandung partikel berbahaya seperti amonia dan senyawa organik volatil (VOCs) yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan, sakit kepala kronis, dan mual. Menurut survei dari Universitas Airlangga tahun lalu, 50% warga bantaran sungai di kawasan Gubeng dan Mulyosari mengeluhkan gangguan pernapasan akibat paparan bau harian, dengan peningkatan kasus asma hingga 30%. Anak-anak dan lansia paling rentan; misalnya, di bantaran Sungai Kalidami, bau busuk yang semakin parah selama musim hujan memicu serangan alergi dan demam berdarah dengue, karena genangan air sampah tidak hanya berbau, tapi juga menjadi sarang nyamuk. Stres psikologis menjadi dampak lain yang tak kalah parah. Bau tidak sedap yang konstan membuat warga sulit tidur, makan, atau bahkan bernapas lega. Ibu Suntari, seorang ibu rumah tangga berusia 45 tahun yang tinggal di bantaran Sungai Kalidami, berbagi pengalamannya: "Bau amis dan busuk itu seperti kabut yang menyelimuti rumah kami setiap pagi. Anak-anak saya sering muntah karena baunya, dan saya harus menutup jendela rapat-rapat, tapi tetap saja meresap. Hidup di sini seperti di penjara bau." Banyak warga melaporkan kehilangan nafsu makan dan depresi ringan, yang memperburuk kondisi kesehatan secara keseluruhan. Dampak Ekonomi dan Sosial Akibat Bau yang Mengganggu Secara ekonomi, bau busuk ini merusak sumber penghidupan warga. Pedagang kecil di sekitar Gubeng dan Mulyosari kesulitan menarik pelanggan karena aroma menyengat yang membuat pasar atau warung terasa tidak nyaman. Usaha rumahan seperti laundry dan kos-kosan juga terdampak, karena pelanggan enggan datang atau menolak tinggal di lingkungan yang setiap hari diselimuti bau sampah. "Biasanya anak kos betah tinggal dekat kampus, tapi sekarang banyak yang pindah karena baunya bikin sesak," ungkap Bu Rini, pemilik kos di kawasan Mulyosari. Penghasilan warga menurun drastis karena bau yang terus menerus menempel di udara dan mencoreng citra lingkungan. Pemulung pun terhambat; meski mengumpulkan sampah untuk dijual, bau yang menusuk membuat pekerjaan mereka semakin melelahkan dan berisiko kesehatan. Dampak sosialnya meluas ke kehidupan komunal. Bau tidak sedap memicu konflik antarwarga, seperti pertengkaran soal siapa yang membuang sampah atau bagaimana mengatasi bau di area bersama. Anak-anak kesulitan belajar di rumah karena konsentrasi terganggu oleh aroma busuk, sementara banjir musiman memperburuknya—timbunan sampah menyumbat saluran, menyebabkan luapan yang membawa bau lebih kuat. Pada banjir Januari 2023, ratusan rumah di kawasan bantaran Sungai Kalidami di Gubeng terendam air berbau amis, merugikan warga hingga miliaran rupiah dan meninggalkan trauma bau yang bertahan berminggu-minggu. Upaya Solusi dan Harapan ke Depan Pemerintah Kota Surabaya telah meluncurkan program "Surabaya Bersih Sungai" dengan membersihkan sampah secara rutin dan membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di kawasan Mulyosari, termasuk penggunaan enzim bio untuk mengurangi bau dekomposisi. Namun, partisipasi masyarakat masih diperlukan. Kampanye edukasi seperti yang dilakukan oleh LSM Lingkungan Hidup Indonesia (LHI) mulai menunjukkan hasil, di mana warga diajarkan memilah sampah organik untuk mencegah bau busuk dan melaporkan pembuangan liar. Untuk mengatasi "krisis bau" ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Investasi pada infrastruktur drainase dengan filter anti-bau, penegakan hukum terhadap pembuang sampah sembarangan, dan program relokasi warga ke permukiman yang lebih layak di sekitar Gubeng dan Mulyosari bisa menjadi langkah konkret. Selain itu, penanaman vegetasi penyerap bau di bantaran sungai juga direkomendasikan. Jika dibiarkan, bau busuk dari timbunan sampah dan pencemaran sungai tidak hanya merusak kesehatan dan ekonomi warga, tapi juga citra Surabaya sebagai kota metropolitan yang berkelanjutan. Warga Surabaya, khususnya yang tinggal di bantaran sungai di Gubeng dan Mulyosari, pantas mendapatkan udara segar tanpa bau busuk. Mari kita mulai dari kesadaran diri: kurangi sampah plastik, buang sampah pada tempatnya, dan dukung upaya pelestarian sungai. Hanya dengan itu, Sungai Kalidami bisa kembali menjadi kebanggaan kota pahlawan, bukan sumber penderitaan bau.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.