DPR Konfirmasi Kebijakan Kucuran Dana Rp200 Triliun tak Langgar UU

1 hour ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan kebijakan pemerintah mengucurkan dana Rp200 triliun untuk bank himbara tidak melanggar aturan yang berlaku. Hal itu disampaikan menanggapi adanya dugaan kebijakan tersebut melanggar konstitusi dan undang-undang (UU), termasuk UU APBN.

“Menurut UU Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, penempatan SAL dari rekening pemerintah di BI ke bank himbara sebesar Rp 200 triliun oleh Menteri Keuangan Purbaya tidak melanggar aturan UU karena sudah diberikan ruang dalam Pasal 31 dan Pasal 42 ayat (3),” ujar Misbakhun saat dikonfirmasi Republika, Selasa (16/9/2025).

Mengutip beleid tersebut, Pasal 31 ayat (1) berbunyi: Dalam rangka pembayaran gaji, tunjangan, DAU, dan kewajiban pemerintah lainnya bulan Januari 2025 yang dananya harus disediakan pada akhir tahun anggaran 2024, pemerintah dapat melakukan pinjaman SAL dan/atau menggunakan dana dari hasil penerbitan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) pada akhir tahun 2024.

Adapun Pasal 42 ayat (3) berbunyi: SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan SAL yang ada di rekening Bank Indonesia yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan atas APBN.

Sebelumnya, ekonom senior yang juga Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, mengkritisi suntikan dana pemerintah di BI sebesar Rp200 triliun yang digulirkan ke lima bank himbara. Alokasi tersebut yakni Rp55 triliun untuk Bank Mandiri, Rp55 triliun untuk BRI, Rp55 triliun untuk BNI, Rp25 triliun untuk BTN, dan Rp10 triliun untuk BSI. Ia menilai penempatan dana itu melanggar konstitusi dan sejumlah UU yang berlaku.

“Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp200 triliun ke perbankan, kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri, atau individu, merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar,” ujar Didik dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (15/9/2025).

Ia menekankan, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur oleh tiga hal: UUD 1945 Pasal 23, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun. Itu merupakan prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang harus dijalankan. “Karena anggaran negara masuk ke ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan,” ujarnya.

Didik menilai, alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau presiden sekalipun. Pejabat negara harus taat aturan dengan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang berasal dari kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah.

Lebih lanjut, ia menjelaskan program-program yang disusun secara teratur terdapat dalam nota keuangan yang diajukan pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara adalah ranah publik, maka proses politik lewat legislasi dinilai harus dijalankan bersama DPR melalui pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran.

“Setiap program yang menjalankan anggaran negara tanpa melalui proses legislasi adalah pelanggaran konstitusi. Jika ada kebijakan dan program yang nyelonong dengan memanfaatkan anggaran, maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat. Tanpa proses legislasi, ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara,” tegasnya.

Ia menambahkan, setiap rupiah dari anggaran negara harus melalui pembahasan dengan DPR. Asumsi ini disepakati komisi-komisi untuk membahas alokasi K/L, lalu Badan Anggaran merumuskan hasil akhir yang kemudian disetujui DPR dalam sidang paripurna. Setelah itu, anggaran negara dapat dialokasikan untuk dilaksanakan di sektor-sektor oleh K/L maupun di daerah oleh pemda.

“Inilah proses sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur,” katanya.

Didik juga menilai pengeluaran dana Rp 200 triliun berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 22 ayat (4), (8), dan (9).

Ayat (4) berbunyi: Dalam pelaksanaan operasional penerimaan negara dan pengeluaran negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum.

Ayat (8) berbunyi: Rekening pengeluaran diisi dana dari Rekening Umum Kas Negara (RKUN) di bank sentral.

Ayat (9) berbunyi: Jumlah dana yang disediakan di rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah yang telah ditetapkan dalam APBN.

“Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat (9). Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program spontan,” jelas Didik.

Oleh sebab itu, ia menilai tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum seharusnya hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR. Bukan untuk disalurkan bank ke industri melalui skema kredit umum di luar pembiayaan APBN.

“Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22, khususnya ayat (8) dan (9) UU Nomor 1/2004 tersebut,” ujarnya.

Pada ayat (4), beleid tersebut memang membolehkan Menteri Keuangan membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum. Namun, rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. “Penempatan dana Rp200 triliun dari anggaran negara secara spontan juga melanggar Pasal 22 ayat (4) UU 1/2004,” lanjutnya.

Atas analisisnya, Didik meminta Presiden Prabowo Subianto memberi perhatian pada persoalan kucuran dana Rp200 triliun, yang digadang-gadang bisa menumbuhkan kredit dan mengerek pertumbuhan ekonomi.

“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan menghentikan program dan praktik jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya tiga undang-undang dan sekaligus konstitusi,” ujarnya.

“Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Program tersebut harus dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN, diajukan secara sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang akan dijalankan. Tidak boleh ada program spontan hasil wawancara doorstop,” tutup Didik.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |