REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum historis dan spiritual yang menegaskan kontribusi kaum santri terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembangunan moral bangsa.
Peringatan tahun 2025 ini menjadi saat reflektif untuk membaca kembali peran pesantren dan santri di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan sosial.
Salah satu tokoh yang menyoroti makna penting Hari Santri tahun ini adalah Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam pandangannya, Hari Santri harus diposisikan sebagai momentum memperkuat jati diri bangsa melalui nilai-nilai luhur pesantren.
“Bagi saya, Hari Santri adalah refleksi tentang bagaimana nilai-nilai pesantren berkontribusi membentuk wajah kebangsaan Indonesia. Dari sejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, kita belajar bahwa santri tidak hanya berzikir, tetapi juga berpikir dan bergerak,” ujar Tholabi yang juga alumnus Pesantren Darussalam Ciamis.
Menurut dia, semangat Hari Santri adalah penegasan bahwa santri memiliki peran strategis dalam menghadirkan Islam yang teduh, inklusif, dan nasionalis di ruang publik. “Santri itu pejuang, tapi juga pemelihara akhlak sosial,” tegasnya.
Tholabi menilai, dunia digital merupakan medan baru bagi dakwah dan keilmuan Islam. Pesantren, dengan seluruh tradisi dan nilai keikhlasannya, tidak boleh menutup diri terhadap transformasi teknologi. Namun, ia mengingatkan agar modernisasi tidak menggerus ruh keilmuan dan adab yang menjadi fondasi pendidikan pesantren.
“Teknologi boleh berubah cepat, tapi akhlak jangan ikut tergesa. Pesantren harus hadir di dunia digital dengan nilai-nilai luhur, bukan sekadar dengan konten. Literasi digital santri perlu diarahkan agar menjadi khadim al-‘ilm, atau pelayan,” tuturnya.
Dalam pandangan akademisi yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta ini, keberadaan santri di dunia maya seharusnya menjadi energi positif untuk menyebarkan nilai Islam rahmatan li al-‘alamin, bukan ajang polemik yang memecah belah.
Sebagai alumni pesantren, Tholabi mengenang nilai-nilai yang ia bawa ketika nyantri di Darussalam Ciamis. “Yang paling membekas bagi saya adalah adab dan kesabaran. Di pesantren, ilmu tidak hanya dihafal, tapi dihayati dan amalkan untuk melahirkan kemaslahatan,” katanya.
Tholabi juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pesantren dan perguruan tinggi Islam. “UIN Jakarta, misalnya, tidak bisa berjalan sendiri. Dunia akademik modern membutuhkan akar moral dan spiritual dari pesantren. Sebaliknya, pesantren juga perlu dukungan riset dan manajemen pendidikan dari kampus,” jelasnya.
Sinergi ini, menurut dia, akan melahirkan ekosistem pendidikan Islam yang utuh, yakni rasional, spiritual, dan sosial. Ia menyebut gagasan pesantrenization of campus dan campusization of pesantren sebagai arah ideal masa depan pendidikan Islam di Indonesia.
Tholabi berpesan kepada santri dan mahasiswa agar menjadi generasi berilmu sekaligus beradab. “Jadilah generasi yang berilmu tanpa kehilangan keikhlasan, dan berteknologi tanpa kehilangan nurani. Kita boleh hidup di zaman Artificial Intelligence, tapi jangan kehilangan Adab Quotient,” pesannya.