Modernisasi vs Literasi Digital, Antara Harapan dan Kenyataan

1 hour ago 6

Oleh : Heka Hertanto, Praktisi CSSR Artha Graha Peduli

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hedonisme adalah pandangan hidup yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan sebagai tujuan utama. Sementara itu, konsumerisme adalah kebiasaan membeli dan mengonsumsi barang secara berlebihan, seringkali tidak berdasarkan kebutuhan. Keduanya saling berkaitan, karena orang yang hedonis cenderung konsumtif untuk mendapatkan kesenangan, sedangkan konsumerisme yang berlebihan bisa didasari oleh keinginan untuk mendapatkan kepuasan dan status sosial melalui barang-barang yang dimiliki.

Kedua hal tersebut menjadi kebiasaan baru  saat ini. Lebih parahnya, perilaku hedon dan konsumtif justru didukung oleh perkembangan globalisasi dan modernisasi sehingga teknologi menjadi semakin mudah dan murah untuk di diakses.

Dampak dari fenomena tersebut adalah masyarakat menjadi semakin mudah mendapatkan informasi, yang didukung dengan teknologi telepon seluler atau ponsel. Informasi tersebut kemudian menjadi referensi bagi masyarakat untuk mendapatkan wawasan atau pengetahuan. Persoalannya berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama lembaga riset Katadata Insight Center, tingkat kognitif digital masyarakat Indonesia masih berada pada tahap "sedang". Skor ini menunjukkan bahwa bahwa banyak masyarakat Indonesia sudah mahir menggunakan teknologi (misalnya media sosial), tetapi belum sepenuhnya sadar akan risiko keamanan dan etika dalam berinteraksi online dan belum memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dalam memilah informasi.

Rendahnya kemampuan berpikir kritis masyarakat Indonesia dalam memilah informasi menyebabkan adanya Individu masyarakat yang cenderung mudah terpengaruh oleh hoaks, mis-informasi, atau berita palsu yang beredar di media sosial, sehingga dapat menyebabkan adanya mudahnya masyarakat terpecah belah yang saling bertentangan yang dapat menyulut konflik sosial serta dapat menyebabkan Keputusan yang tidak tepat dalam berbagai aspek kehidupan. 

Selain itu, kurangnya kesadaran terhadap etika dan keamanan digital membuat masyarakat mudah terjebak dalam praktik-praktik tidak bertanggung jawab, seperti plagiarisme, cyberbullying, atau bahkan penipuan daring. Akibatnya, ekosistem digital menjadi kurang sehat dan produktivitas masyarakat pun terhambat karena energi dan waktu terkuras untuk menghadapi dampak negatif dari penyebaran informasi yang salah. Dengan demikian, peningkatan literasi digital serta penguatan kemampuan berpikir kritis menjadi sangat penting untuk membangun masyarakat yang adaptif dan bijak dalam menghadapi tantangan era digital.

Adanya kondisi ini diperparah dengan rendahnya, tingkat literasi masyarakat, terutama masyarakat dengan usia muda. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. 

Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rutin membaca. Selain itu menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 33,44 persen anak usia dini di Indonesia sudah bisa menggunakan ponsel pada tahun 2022. Rinciannya, 25,5 persen anak berusia 0-4 tahun dan 52,76 persen anak berusia 5-6 tahun. Di Jawa Tengah, 38,48 persen anak usia dini sudah bermain ponsel. Indonesia merupakan negara dengan rata-rata penggunaan ponsel di dunia, yaitu 6,05 jam per hari pada tahun 2023.

Akibatnya, banyak generasi muda Indonesia terutama anak-anak dan remaja yang terlena dan mulai meninggalkan budaya membaca atau literasi. Kesibukan  dalam melakukan akses scrolling media sosial hanya dijadikan budaya untuk mendapatkan informasi sekedarnya tanpa didasarkan keinginan untuk menambah keterampilan dan ilmu pengetahuan yang positif. 

Nilai nasionalisme generasi muda Indonesia menjadi mudah tergerus dengan masuknya pengaruh budaya asing seperti budaya K-Pop, komik-komik luar negeri dan budaya-budaya asing lain yang masuk ke Indonesia sehingga menyebabkan degradasi identitas nasional, namun juga merusak cara berpikir generasi muda yang lebih menghargai budaya asing dan melupakan identitas nasional yang seharusnya mengakar secara sosial. Hal negatif lain yang timbul adalah maraknya Judi online, penggunaan bahasa kasar sehari-hari, menurunnya pengetahuan terhadap kearifan lokal menjadi konsumsi generasi muda dan semakin meningkat jumlahnya. 

Hal ini jika dibiarkan terus, kondisi ini dapat menghambat perkembangan intelektual mereka serta berdampak pada rendahnya daya saing generasi muda Indonesia di masa depan.

Merawat Literasi Digital Kaum Muda Indonesia

Perkembangan modernisasi dalam memperoleh informasi dengan ponsel bukanlah sesuatu yang dapat dihilangkan atau dihindari. Kebutuhan ponsel sebagai teknologi harus diadaptasi, bukan justru dihindari. Di sisi lain, Tingkat literasi generasi muda juga harus berkembang sesuai teknologi modernisasi. Karena itu, upaya literasi digital yang positif menjadi alternatif untuk meningkatkan minat untuk menambah keahlian, keterampilan dan ilmu pengetahuan dalam membentuk pemikiran kognitif yang kritis terutama dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui sumber-sumber digital. 

Menghindari konsumsi kampanye media sosial yang negatif dan game-game online yang tidak mendidik, mengarahkan kegiatan untuk mengakses materi-materi digital yang positif dan bernilai tambah, tentunya menjadi Solusi untuk meningkatkan kemampuan literasi di ruang digital.

Dengan mengarahkan aktivitas literasi digital positif untuk mengakses konten ilmu pengetahuan yang berbasis pada wawasan pengetahuan akan membangun cara berpikir kritis dari generasi muda. Berbagai buku-buku digital kini dapat diakses sebagai bahan bacaan yang perlu dijadikan referensi untuk melatih berpikir kritis terhadap perkembangan informasi.

Modernisasi teknologi informasi digital tidak boleh dibenturkan dengan menurunnya tingkat literasi. Modernisasi harus disikapi secara bijak, dimana ponsel sebagai produk modernisasi harus diletakkan kembali sebagai alat bantu untuk mempermudah dalam mengakses ilmu pengetahuan, dibandingkan menggunakan ponsel untuk “langganan” unggahan negatif atau berita hoaks di media sosial. 

Peran keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat menjadi variabel yang harus menegaskan bahwa media sosial hanyalah hiburan, bukan tontonan yang wajib setiap hari. Peran orang tua dalam membatasi penggunaan ponsel, larangan di sekolah membawa ponsel, serta pengawasan masyarakat terkait perilaku menyimpang menjadi modal sosial yang kuat untuk mengarahkan generasi muda dalam membiasakan aktivitas literasi.

Kampanye literasi digital positif harus dibuat dan terus digalakkan untuk memberikan edukasi baik kepada generasi muda, maupun orang tua, dan sekolah. Kampanye literasi digital positif harus menjadi program rutin, terutama di sekolah sebagai unsur pendidikan yang bertanggung jawab dalam mencetak generasi muda, sekaligus, keterlibatan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial lainnya. Dengan begitu, penggunaan ponsel harus diarahkan pada berbagai kegiatan positif, seperti membaca buku digital ataupun kegiatan digital lain yang memberikan manfaat dan mendorong perilaku dan cara berpikir yang kritis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |