22 Kasus Kekerasan Jurnalis di 2025, AJI Soroti Budaya Impunitas

1 day ago 5

Jakarta, CNN Indonesia --

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai kasus kekerasan dan teror terhadap jurnalis kian mengkhawatirkan.

Hal ini terbukti dari catatan AJI, yang menyebutkan ada 22 kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis pada tiga bulan pertama 2025.

"Dari tahun 2025 ini, itu sudah 22 kasus yang masuk ke AJI. Kita bayangkan berarti satu bulan itu ada berapa kasus? Berarti tiap minggu atau mungkin 3 hari sekali itu ada kasus kekerasan," kata Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dalam konferensi pers daring Komite Keselamatan Jurnalis, Minggu (23/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nany mengatakan selama tiga tahun terakhir, berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis telah diterima AJI, di mana mayoritas kasus berakhir menguap begitu saja.

Pada 2022, AJI mencatat lebih dari 100 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Namun, hanya 16 kasus yang lanjut dilaporkan ke polisi dan hanya dua di antaranya yang selesai secara inkrah atau berkeputusan hukum tetap.

"Dari 16 kasus itu, hanya 2 kasus yang selesai secara inkrah, tapi itu masuk dalam tindak pidana ringan. Jadi bukan dianggap serius," kata Nany.

Pada 2023, AJI menerima 89 laporan kasus kekerasan pada jurnalis. Namun, hanya 16 kasus yang lanjut ke kepolisian.

"Yang lapor ke polisi cuma 16 kasus dan tidak ada follow up sama sekali. Tidak ada kejelasan sampai mana kasus ini berada," ujar Nany.

Lebih lanjut, pada 2024, ada 73 kasus yang dilaporkan sejumlah jurnalis ke AJI. Dari puluhan kasus yang dilaporkan ke polisi, hanya satu kasus yang inkrah.

"Dan itupun tindak pidana ringan. Jadi bisa dibilang meski kami lapor ke polisi, belum tentu selesai. Dan dari beberapa buah kasus yang kami laporkan ke polisi, puluhan kasus tidak dilaporkan, bisa jadi karena jurnalisnya tidak ingin kasusnya dilaporkan, atau kebetulan ada rasa frustasi karena kalau dilaporkan belum tentu selesai seperti kasus-kasus sebelumnya," ucapnya.

Budaya impunitas

Fenomena seperti ini, kata Nany, merupakan akibat dari budaya impunitas yang semakin kuat di Indonesia. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis acap kali lolos dari hukum, dan bilamana dihukum, vonis yang diterima begitu ringan.

"Dan yang kena bukan mastermind, tapi eksekutor. Kita merasa kondisi ini sangat serius dan bisa dibilang kita merasa tidak aman sebagai jurnalis untuk bekerja. Ada rasa ketakutan dan kekhawatiran," katanya.

Nany menerangkan pada kasus Tempo, setelah teror kepala babi dikirim dan dilaporkan ke Bareskrim Polri, teror yang lain justru datang keesokan harinya.

Menurutnya, ini menandakan bahwa pelaku memang tidak takut karena tahu ada impunitas dalam hukum di Indonesia.

"Kita juga melihat kenapa kasus intimidasi, kasus kekerasan ini tidak selesai-selesai? Bisa jadi hukum juga tidak berpihak kepada jurnalis," ucapnya.

"Banyak kasus-kasus konten itu dilaporkan ke polisi padahal harusnya dilaporkan ke Dewan Pers kalau ada hubungan dengan jurnalistik. Tapi polisi tetap mengambil kasus ini dan memproses kasus ini. Ini juga menjadi concern kami karena antara Dewan Pers dan kepolisian sudah ada MoU," lanjut Nany.

Nany berharap Polri dapat segera melakukan sesuatu sehingga angka-angka kekerasan ini tak cuma tinggal angka.

Satu kekerasan terhadap jurnalis saja, kata dia, sama dengan cerminan bahwa demokrasi sedang terganggu.

Jika jurnalis mulai tak lagi percaya terhadap hukum karena impunitas-impunitas ini, Nany khawatir kualitas jurnalisme di Indonesia akan menurun.

"Kalau seperti ini yang kita khawatirkan adalah kualitas jurnalis akan menurun, kualitas jurnalistik akan menurun. Orang-orang takut untuk melapor dan bisa terjadi yang namanya self censorship di sini, dan itu yang sudah diramalkan AJI ke depan akan semakin banyak," tutupnya.

(blq/dmi)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |