Ada Potongan Semangka Setipis Kartu ATM, TII Hitung Potential Lost Tiap SPPG MBG Rp1,8 M

1 hour ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) menemukan potensi kerugian dari pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Angkanya pun tak tanggung-tanggung mencapai Rp1,8 miliar tiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

"Ada potensial lost per satuan SPPG per tahun Rp 1,8 miliar. Sumber dari 2.500 pemotongan atau fee, apa yayasan boleh ambil untung? Gimana keuntungan mitra dapur, gimana biaya Rp15 ribu (MBG) sampai ke mulut penerima manfaat mentok di Rp 9.500," kata Peneliti TII Agus Sarwono dalam diskusi di kantor ICW pada Selasa (23/9/2025).

TII mengamati pelaksanaan MBG tanpa melakukan prioritas penerima manfaat berisiko membebani anggaran negara. Sebab program ini akan memperlebar defisit anggaran hingga mencapai 3,6 persen terhadap PDB. Hal ini berarti melampaui batas maksimal defisit 3 persen PDB sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

"Risiko korupsi yang gagal dicegah dalam program MBG dapat merugikan negara hingga Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG," ujar Agus.

TII menggunakan Kajian pemetaan risiko korupsi (Corruption Risk Assessment/CRA) untuk mencapai angka itu. CRA digunakan untuk menilai peluang terjadinya korupsi. Penilaian CRA menargetkan kelemahan-kelemahan potensial baik terkait desain kelembagaan, peraturan perundang-undangan, prosedur, dan regulasi.

"Kelemahan-kelemahan itu yang dapat memicu terjadinya korupsi atau yang umumnya terkait dengan perilaku koruptif," ujar Agus.

TII juga mengamati viralnya video menu MBG yang tidak layak atau porsinya kecil menjadi penanda ada kejanggalan.

"Ada video semangaknya (di menu MBG) setipis kartu ATM. Itu fakta nggak bisa dipungkiri," ujar Agus.

Selain itu, TII menyoroti ketiadaan payung hukum penyelenggaraan program MBG. Ini tercantum di dalam RPJMN 2025-2029 lampiran I yang memuat bahwa perlu adanya penyusunan dasar hukum dalam penyelenggaraan program MBG dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).

"Tidak adanya payung hukum berisiko pada transparansi, akuntabilitas, pola koordinasi, keamanan pangan, dan keberlanjutan program MBG," ujar Agus.

Agus memandang aturan yang ada tidak cukup memadai untuk dijadikan sebagai dasar hukum utama penyelenggaraan Program MBG.

"Karena tidak mengatur secara rinci mekanisme koordinasi antar lembaga dan antar level pemerintahan, serta belum mencantumkan pembagian kewenangan, tanggung jawab, maupun pengaturan peran serta masyarakat," ujar Agus.

Diketahui, CRA dilakukan dengan mengukur: a) Kemungkinan Terjadi (Likelihood) terkait seberapa besar peluang risiko tersebut akan terjadi dalam situasi dan sistem yang ada saat ini; dan b). Dampak (Impact) terkait seberapa besar kerugian yang akan ditimbulkan jika risiko tersebut benar-benar terjadi. Penilaian risiko menggunakan skala 1 (risiko sangat rendah) hingga skala 5 (risiko sangat tinggi).

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |