TEMPO.CO, Jakarta - Selama ini, pembahasan tentang perfeksionisme lebih sering berfokus pada pengalaman para perfeksionis—tentang standar tinggi yang mereka tetapkan, perjuangan melawan ketidaksempurnaan, serta dampaknya terhadap diri mereka sendiri.
Namun, dampak perfeksionisme terhadap pasangan, teman, atau rekan kerja jarang menjadi perhatian, meskipun mereka juga merasakan tekanan dari obsesi terhadap kesempurnaan. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang menjalin hubungan dengan seorang perfeksionis?
Dilansir dari Very Well Health, perfeksionis adalah sifat individu yang menetapkan standar sangat tinggi, kaku, atau bahkan "sempurna," atau sering kali tidak realistis, terhadap diri sendiri maupun orang lain. Mereka berusaha mencapai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal prestasi, kesuksesan karier atau pekerjaan, prestasi, penampilan fisik, hingga hubungan yang dijalani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perfeksionisme sebenarnya dapat menjadi motivasi untuk mencapai hasil terbaik. Namun, ketika berkembang secara berlebihan, sifat ini justru bisa menjadi beban yang mempengaruhi seseorang yang mengalaminya hingga orang di sekitarnya.
Pasalnya, obsesi terhadap kesempurnaan yang mereka miliki juga akan berdampak pada orang-orang di sekitar mereka karena dibalik ambisinya, terdapat kecemasan mendalam terhadap kegagalan dan ketidaksempurnaan dan membuat fokus utama seorang perfeksionis adalah menghindari kegagalan, sehingga menciptakan pola pikir negatif. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan seorang perfeksionis bukanlah hal yang mudah.
Merujuk pada laman Psychology Today, dalam banyak kasus, perubahan dan proses penyembuhan dari perfeksionisme tidak hanya terjadi demi diri sendiri, tetapi juga demi orang lain. Ada pandangan bahwa perubahan harus datang dari keinginan pribadi agar lebih bermakna, tetapi kenyataannya, saat seseorang mulai mempertimbangkan perasaan dan kebutuhan orang lain di atas obsesi mereka terhadap kesempurnaan, justru di situlah perubahan yang lebih signifikan bisa terjadi. Pada akhirnya, kepedulian terhadap orang lain bukan hanya tentang menjaga hubungan, tetapi juga menjadi cara untuk memahami dan memperbaiki diri sendiri.
Lewat tulisannya di laman Psychology Today, Leon Garber, seorang konselor kesehatan mental yang berpraktik di Brooklyn, New York, memberikan gambaran tentang hubungan yang dijamin bersama seorang perfeksionis.
Ia menyatakan bahwa perfeksionisme bisa muncul dalam bentuk narsisme yang berlebihan, di mana seseorang terus mengejar status dan kekuasaan untuk membuktikan bahwa mereka tidak memiliki batasan. Bagi mereka, kesempurnaan adalah bentuk keamanan tertinggi, yaitu memiliki kendali penuh atas segalanya. Ini sering dikaitkan dengan perfeksionisme yang berorientasi pada kesuksesan atau pencapaian besar dalam karier.
Di sisi lain, perfeksionisme juga bisa muncul dalam bentuk narsisme yang lebih sensitif, di mana seseorang berusaha melindungi diri dari kritik dengan menciptakan dunia yang sempurna. Dalam dunia ini, satu-satunya bentuk keamanan sejati adalah mendapatkan penerimaan penuh dari orang lain. Jenis ini sering dikaitkan dengan perfeksionisme moral, yaitu obsesi untuk selalu dianggap sebagai orang baik.
Tak hanya itu, ada pula perfeksionis dengan kecenderungan obsesif-kompulsif percaya bahwa mereka bisa dan harus menjadi sempurna, sehingga mereka terus-menerus berusaha mencapainya, sering kali demi mendapatkan cinta—baik dari publik maupun dalam hubungan pribadi. Jenis ini berkaitan dengan kedua bentuk perfeksionisme di atas. Terlepas dari bentuknya, semua ini melibatkan obsesi terhadap fantasi dan keyakinan bahwa kesempurnaan adalah jalan menuju kebahagiaan.
Pasangan atau teman dari seorang perfeksionis sering kali terseret ke dalam dunia mereka dan hanya mendapat sedikit perhatian. Jika perfeksionisme itu hanya memengaruhi diri sendiri, orang-orang di sekitar mereka akan terus diabaikan. Namun, jika perfeksionisme itu diluapkan ke orang lain, mereka bisa diperlakukan dengan buruk.
Hidup dengan pasangan yang perfeksionis berarti mengalami perasaan putus asa dan tidak dihargai secara terus-menerus. Standar yang lebih rendah sering diremehkan, pujian diabaikan, dan kesalahan dialihkan kepada orang lain. Akibatnya, pasangan atau teman mereka sering bertanya-tanya atau beranggapan bahwa dirinya lah yang salah.
Pasangan dan teman perfeksionis sering merasa tidak berdaya
Seperti halnya perfeksionis yang sulit membuat dirinya sendiri bahagia, mereka juga cenderung tidak membiarkan orang lain merasa bahagia—kecuali dalam kelompok yang lebih besar. Bagi mereka, mengakui bahwa mereka membutuhkan seseorang terasa seperti kelemahan, karena dalam pandangannya hal itu berarti orang lain bisa memiliki kendali atas mereka.
Bagi orang yang sangat menjunjung individualisme, kebahagiaan dianggap sebagai sesuatu yang harus berasal dari diri sendiri. Mengandalkan orang lain dianggap sebagai ketergantungan yang harus dihindari. Namun, pada kenyataannya, saat seseorang mengutamakan orang lain, respons yang didapat—seperti kasih sayang, perhatian, dan kepedulian—justru bisa membuat lebih bahagia. Bahkan, melakukan sesuatu untuk orang lain sering kali memberi kepuasan lebih besar daripada hal-hal yang dilakukan untuk diri sendiri, meskipun terkadang terasa merepotkan.
Adapun psychoanalyst Nancy McWilliams juga pernah mengatakan bahwa orang dengan kecenderungan narsistik sebenarnya sangat membutuhkan orang lain, tetapi mereka kesulitan untuk benar-benar mencintai. Mereka bukan hanya bergantung pada orang lain, tetapi juga takut untuk mencintai karena hal itu membuat mereka merasa rentan.
Pasangan perfeksionis, yang sering merasa terabaikan dan tidak diinginkan, mungkin tidak menyadari bahwa perfeksionis sebenarnya takut akan kedekatan emosional. Perfeksionis sering berpikir bahwa mereka bisa menemukan kebahagiaan melalui kesuksesan dan pengakuan, seolah-olah itu akan memberi mereka rasa percaya diri untuk mencintai.
Namun, karena terlalu fokus mengejar kesempurnaan, mereka tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah memiliki apa yang mereka cari. Mereka sulit mempercayai bahwa seseorang bisa mencintai mereka apa adanya, dengan segala kekurangan mereka. Karena itu, mereka justru merusak hal yang sebenarnya paling mereka inginkan.
Pada akhirnya, hanya perfeksionis sendiri yang bisa peduli untuk memahami bagaimana sikap mereka memengaruhi dan menyakiti orang-orang di sekitar mereka. Itu bukan tanggung jawab pasangan untuk terus-menerus mencari alasan dan memaklumi mereka.
Namun, bagi pasangan atau teman perfeksionis, penting untuk mengetahui bahwa banyak dari sikap perfeksionis bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi. Perfeksionis sering kali kesulitan mengakui bahwa mereka membutuhkan orang lain, dan mereka meremehkan pasangan mereka dengan cara yang sama seperti mereka meremehkan pencapaian mereka sendiri—karena rasa takut yang mendalam untuk benar-benar merasakan kebahagiaan. Memilih untuk pergi dari hubungan seperti ini adalah hal yang bisa dimengerti.