TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memastikan perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) memiliki pedoman perilaku atau code of conduct.
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menjelaskan, hingga saat ini ada hampir seratus perusahaan pindar yang mengantongi izin OJK. “Kami mempunyai 97 anggota, di mana ada code of conduct,” ucap Entjik ketika ditemui usai acara pelatihan jurnalis di kawasan Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada Rabu, 22 Januari 2025. Semua perusahaan pindar, lanjut dia, wajib mematuhi pedoman perilaku ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entjik menjelaskan, AFPI mengeluarkan sejumlah aturan etik dan perilaku untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan bisnis fintech P2P lending. “Salah satunya, mungkin yang paling lagi viral, adalah bagaimana cara menagih,” ujar dia.
Proses penagihan pindar, katanya, diatur dengan standar operasional prosedur (SOP). Entjik berujar, penagihan pindar yang legal tidak boleh dilakukan sebelum pukul 8.00 pagi dan setelah 8.00 malam. Kemudian, pihak penagih tidak boleh melakukan penagihan di hari libur nasional. “Maksudnya tanggal merah itu nggak boleh,” ujar dia.
Selain itu, penagihan juga tidak boleh dilaksanakan secara kasar dan tidak beretika. Hal ini, menurut dia, berkebalikan dengan proses penagihan pada perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal. Ia pun menegaskan AFPI memantau proses penagihan utang yang dilakukan oleh perusahaan pindar. “Kami memonitor semua, para penagih-penagih ini,” tutur dia.
Jika ada penagih yang melanggar pedoman perilaku, maka AFPI akan memasukkannya ke dalam daftar hitam atau blacklist. Adapun penagih yang berada dalam daftar hitam itu tidak diperkenankan untuk bekerja di 97 perusahaan pindar resmi yang mendapat lisensi OJK. “Di 97 (perusahaan) pindar dia nggak boleh bekerja melakukan penagihan untuk pindar,” katanya.
Sebelumnya, AFPI menegaskan pinjaman daring (pindar) berizin berbeda dengan pinjaman online (pinjol) ilegal. Istilah 'pinjol' kini mulai digantikan dengan 'pindar' untuk mengacu pada Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Ketua Klaster Pendanaan Syariah AFPI Chairul Aslam menjelaskan, ada lima perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu meliputi aspek legalitas, bunga dan biaya, proses penagihan, akses data, hingga aspek perlindungan hukum.
Chairul mencontohkan, pada perusahaan pindar penagihan diatur oleh standar etika yang mengikat. Ia menjelaskan proses penagihan oleh pinjol ilegal kerap dilakukan dengan tidak mengenal waktu. Adapun perusahaan pindar harus mematuhi sejumlah aturan etik. Chairul mengatakan, perusahaan pindar tidak boleh menagih di hari libur dan jam-jam tertentu seperti di jam istirahat.
Aspek akses data pada pindar berizin dan pinjol ilegal juga berbeda. Pada perusahaan pinjol ilegal, akses terhadap data pengguna biasanya tidak terbatas. Sementara akses data pada perusahaan pindar hanya terbatas pada mikrofon, kamera, dan lokasi. “Kalau ada aplikasi apapun yang minta, apalagi yang menyatakan dia pindar, dia meminta akses di luar tiga itu, dapat dipastikan itu adalah bodong, pinjol ilegal,” ujar Chairul.
Chairul juga menyoroti soal perlindungan hukum perusahaan fintech P2P lending. Perusahaan-perusahaan pindar yang berizin dan diawasi, kata dia, menyediakan portal pengaduan. Keluhan-keluhan mengenai layanan pindar difasilitasi oleh OJK maupun AFPI sebagai upaya untuk melindungi pengguna. Sementara pada pinjol ilegal, tidak ada sistem aturan yang resmi. “Urusannya dengan debt collector yang tidak ada aturannya, regulasinya,” ujar Chairul.