TEMPO.CO, Bandung - Dosen ahli Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Laina Rafianti menilai kasus penarikan lagu “Bayar-Bayar-Bayar” oleh pemiliknya yaitu grup musik SUKATANI tergolong menarik. Secara hukum, kasus penarikan karya yang telah tersebar luas di masyarakat itu lebih condong ke aturan tentang hak cipta. “Kalau yang ini lebih ke hak cipta digital karena kontennya masuk ke platform-platform digital,” katanya kepada Tempo, Jumat 21 Februari 2025.
Pilihan Editor: Tanggapi Kasus SUKATANI, DKJ: Belakangan Dunia Kesenian Alami Serangkaian Sensor
Hak Cipta Lagu Melekat pada SUKATANI
Ditarik atau tidak oleh pembuatnya, menurut Laina, hak cipta telah melekat pada karya seperti lagu atau buku begitu karyanya telah jadi atau terwujud. Berbeda dengan hak kekayaan intelektual lainnya, hak cipta tidak diperoleh melalui sistem pendaftaran ke lembaga atau instansi berwenang. “Kalau mau dapat royalti dicatatkan dulu lagu atau musiknya,” ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya menurut Laina, tidak ada istilah penarikan untuk hak cipta seperti dalam Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang sekarang mau direvisi. Permasalahan hak cipta dalam aturan itu terkait dengan hak moral dan hak ekonomi. Ketika ada orang lain yang menduplikasi, membajak, memperbanyak karya seperti lagu misalnya, itu pelanggaran hak cipta.
Awalnya kata Laina, UU Hak Cipta dibuat ketika ada pihak lain yang menyebarluaskan tanpa izin penciptanya. Kemudian terkait hak ekonomi yaitu pencipta karyanya tidak kebagian manfaat ekonomi dari pihak lain yang menyebarkan karyanya. Sedangkan pada kasus band Sukatani, album lagunya bisa diunduh secara gratis dan karyanya telah beredar luas sebelum kemudian ditarik. “Ketika sudah keluar dia jadi karya, nggak mungkin orang jadi menutup mata bahwa karya itu nggak ada, mau dihapus, kan nggak begitu,” ujar Laina.
Bagaimana Hak Cipta di Platform Digital?
Masalahnya juga, penarikan lagu ini terkait dengan konten hak cipta di platform digital. Kalau sudah di platform digital menurut Laina, itu sifatnya masif cepat menyebar, eskalatif mudah terduplikasi, dan transformatif atau mudah dibuat karya turunan atau derivasi bentuknya seperti untuk konten video atau jadi berubah ke bentuk lain. “Jadi semakin kompleks.”
Personel band SUKATANI telah mengumumkan penarikan lagu selain meminta maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian lewat unggahan video di media sosial pada Kamis, 20 Februari 2025. Mereka menurut Laina bisa mengejar untuk melarang pengguna agar tidak menyebarluaskan lagu “Bayar- Bayar-Bayar” atau tidak menggunakan tembang itu. “Itu secara law in book, kenyataannya semakin dilarang semakin viral,” ujarnya.
Pada Undang-undang Hak Cipta ada ketentuan di pasal 50 yang mengatur setiap orang dilarang melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi ciptaan yang bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan negara. Namun sejumlah faktor larangan dalam pasal itu pada kasus penarikan lagu band Sukatani diakui Laina masih bisa diperdebatkan. Selain itu pasal 50 tersebut tidak ada ketentuan pidananya serta tanpa sanksi.
Sementara menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Bagus Fauzan, grup musik Sukatani sebagai pemilik lagu bisa melakukan penarikan dan melarang peredaran, penyebar luasan, penggandaan karyanya oleh pihak lain. Namun syaratnya, mereka harus menggunakan UU Hak Cipta 28 tahun 2014 sebagai dasar hukumnya. “Dan melaporkannya ke polisi karena deliknya aduan,” kata dia.