Catatan Cak AT: Ilaf Quraisy

2 hours ago 7
 Ilāf QuraisyFoto ilustrasi Catatan Cak AT: Ilāf Quraisy

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tak bosan-bosannya di setiap forum mengkampanyekan Trilogi Pembangunan ala Prof. Sumitro Djojohadikusumo: pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan hasil pembangunan, dan stabilitas nasional.

Yang menarik, kalau kita buka mushaf tipis di rak paling atas, trilogi itu sepertinya bergema di dalam al-Qur'an, khususnya di Surah Quraisy.

Surah ini hanya punya empat ayat, pendek, tapi isinya padat nutrisi ekonomi-politik.

Setelah Allah bersumpah dengan ilāf Quraisy, Dia mengingatkan bangsa ini agar bersyukur karena diberi dua hal: kecukupan pangan (ath'amahum min ju‘) dan keamanan politik (āmanahum min khauf).

Baca juga: Catatan Cak AT: Momentum Proklamasi Palestina Merdeka

Dua fondasi inilah yang memungkinkan kafilah Quraisy berdagang aman dari Yaman ke Syam, lalu ke Mesir hingga Persia.

Tanpa jaminan keamanan dan kecukupan pangan, semua teori ekonomi hanyalah ilusi di kertas. Maka, ketika Purbaya bicara soal menjaga likuiditas dan memastikan uang kembali ke sistem, itu sejatinya adalah ikhtiar untuk memastikan tha‘am wa amn—cukup makan dan rasa aman.

Itulah yang dulu menjadi landasan peradaban Quraisy. Di empat ayat surah Quraisy, Allah menegaskan: karena ilāf Quraisy — ini adalah sistem kontrak dagang lintas kekaisaran — umat itu dijaga dari lapar dan rasa takut. Dua kata kunci: perut kenyang dan hati tenang.

Bukankah itu bahasa Qur’ani untuk pertumbuhan dan stabilitas? Dan bukankah pemerataan tak lain adalah memastikan roti Hasyim, kakek Nabi Muhammad Saw, yang direndam kuah kambing di sepanjang perjalanan perdagangan, bisa dicicipi bukan hanya oleh elit kabilah, tapi juga kaum miskin?

Baca juga: Hari Tani Nasional, Petani Harus Jadi Garda Ketahanan Pangan

Prof. Sumitro dulu menekankan pertumbuhan sebagai mesin pertama pembangunan. Purbaya mengulanginya dalam acara dua hari di Medan 2025: pertumbuhan 5,4% dalam APBN 2026 itu realistis, asal mesin fiskal dan moneter dijalankan serentak.

Kafilah dagang Quraisy, terutama yang dipimpin Hasyim — yang nama aslinya 'Amru — sudah paham itu sejak abad ke-6. Bedanya, mesin mereka bukan APBN, tapi kafilah onta. Mereka tidak mencetak obligasi, tapi menandatangani ilāf, perjanjian keamanan dagang dengan Kaisar Romawi dan Persia, serta suku-suku kecil.

Kalau kafilah dagang selamat, barang pasti tiba di pasar, untung berlipat, itulah pertumbuhan. Kalau hari ini kita gagal menjaga kontainer beras dari pungli, gagal menjaga hasil tambang dari sabotase, jangan-jangan level kita malah di bawah manajemen kafilah Quraisy.

Satirnya: Quraisy tumbuh dengan modal roti kuah, kita kadang justru stagnan dengan modal nikel, sawit, dan tambang emas. Kita selama ini dikadali angka-angka oleh para eksportir tambang dan sawit, sehingga tiap tahun negara rugi setara anggaran pendidikan.

Baca juga: Menanggapi Pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB ke-80, Terkait Pangan Kontradiktif

Mari saya kenalkan Hasyim bin 'Abd Manāf. Kakek Nabi Muhammad Saw ini dikenal sebagai food vlogger gurun. Nama aslinya 'Amru. Ia dermawan sejati, suka memotong kambing di tiap perjalanan dagangnya, dan memasak dagingnya dengan panggang gaya gurun.

Cara masak inilah, dengan aroma asapnya yang mengundang rasa, yang membuatnya dikenal dengan nama hasyim, artinya sang pemanggang daging. Tak cuma itu. Ia memasak roti dan menaburinya dengan kuah daging, kemudian memanggil semua orang di sekitar tempat kemah kafilah dagangnya untuk makan bersama.

Itulah _pemerataan manfaat_. Kebiasaan ini pada akhirnya sampai ke telinga Kaisar yang kelak memanggilnya. Di hadapan Kaisar, "Hasyim" hanya minta satu hal: meneken perjanjian keamanan perdagangan, yang disebut al-Qur'an sebagai ilāf.

Dalam istilah Purbaya, stabilitas hanya tercapai bila ada program langsung ke masyarakat. Ia bahkan membandingkan SBY dan Jokowi: pertumbuhan 6% era SBY tak membuat rakyat puas, karena kurangnya program langsung. Era Jokowi dengan 5% pertumbuhan, tapi banyak BLT dan bansos, rakyat lebih tenang.

Baca juga: Mendorong Implementasi Energi Hijau di Green Energy Summit 2025

Di sini ilāf Quraisy bicara: ekonomi yang sehat bukan sekadar angka GDP, tapi soal siapa yang diajak makan di meja. Kalau Sumitro bicara "pemerataan hasil pembangunan," al-Qur’an sudah menulis "aman dari lapar." Karena rakyat kenyang, stabilitas politik ikut terjaga.

Trilogi Sumitro menutup dengan stabilitas nasional. Ini bukan sekadar polisi jaga demo, tapi kestabilan politik-ekonomi yang membuat investor tidak kabur.

Quraisy menerjemahkannya dengan kontrak keamanan: kafilah mereka dijamin di jalur Syam, Yaman, Irak, dan Habasyah. Itulah safe-conduct, kontrak sosial yang lebih ampuh dari pasukan bersenjata.

Purbaya menyebut hal serupa: selama 90% mesin ekonomi kita ditopang konsumsi dan investasi domestik, kita tak perlu gentar kalau Amerika resesi. Stabilitas nasional bukan lahir dari ketakutan, melainkan dari keyakinan rakyat bahwa hidup mereka tidak diguncang lapar dan resah.

Baca juga: Catatan Cak AT: Sejahtera 0,7

Kalau dirangkum, Surah Quraisy memberi dua kunci: makanan dan keamanan. Sumitro memberi tiga kunci: pertumbuhan, pemerataan, stabilitas. Dua-duanya beririsan, seperti dua lingkaran Venn. Perut kenyang adalah pemerataan, hati tenang adalah stabilitas, kafilah berkembang adalah pertumbuhan.

Jadi, kalau hari ini Purbaya mengusung Sumitronomics sambil menepuk dada bahwa "kita lebih pintar dari IMF sedikitlah," bolehlah kita senyum miris. Quraisy sudah lebih pintar dari IMF sejak abad ke-6. Bedanya, Quraisy menjual dagangan dengan jaminan perut rakyat, sementara kita sering menjual jargon dengan jaminan utang negara.

Purbaya mungkin tak pernah bilang terang-terangan, tapi pilihan Prabowo menempatkannya di Kementerian Keuangan bisa dibaca sebagai strategi: menjahit warisan Sumitronomics dengan semangat _ilāf_ Quraisy. Kalau berhasil, Indonesia punya harapan jadi bangsa yang besar: tumbuh tinggi, adil dalam berbagi, stabil dalam menghadapi guncangan global.

Namun kalau gagal? Kita hanya akan jadi Quraisy versi parodi: banyak kontrak di atas kertas, tapi rakyat tetap lapar dan ketakutan. Al-Qur’an sudah kasih resep singkat, empat ayat saja. Tinggal apakah kita mau memasaknya jadi kebijakan nyata, atau sekadar membacanya jadi wirid menjelang tidur.

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 26/9/2025

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |