Celios Temukan 8 Masalah dan Risiko Hukum Pembentukan Danantara, Apa Saja?

2 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Center for Economics and Law Studies (Celios) membeberkan setidaknya terdapat delapan masalah dan risiko hukum dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara. Dalam analisis bertajuk ‘Permasalahan dan Risiko Hukum pada Regulasi Pembentukan Danantara’, Celios menemukan sejumlah pelanggaran perundang-undangan dalam pembentukan badan investasi itu.

Peneliti hukum Celios Muhamad Saleh menjelaskan, sebagai entitas investasi negara, Danantara memiliki peran strategis dalam mengelola aset nasional, tetapi berbagai problem hukum yang ada perlu segera dievaluasi. “Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memperjelas mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban hukum, baik dalam aspek perdata maupun pidana,” tulis Saleh dalam laporan tersebut, dikutip Senin, 10 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, penetapan Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jabatan rangkap di Danantara bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Sebagaimana diketahui, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 memungkinkan Rosan Perkasa Roeslani mengemban jabatan sebagai Ketua Badan Pelaksana Danantara serta Dony Oskaria merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) sekaligus Chief Operating Officer Danantara. Tak hanya itu, Erick Thohir dan Sri Mulyani juga menduduki jabatan tambahan di Dewan Pengawas Danantara.

Temuan kedua, menteri tidak boleh menduduki jabatan lain sebagai pejabat negara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 23 UU Kementerian Negara menegaskan larangan rangkap jabatan bagi menteri sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD. 

Saleh menilai rangkap jabatan ini berisiko menciptakan konflik kepentingan. “Kebijakan ini menimbulkan potensi konflik kepentingan dan melemahkan prinsip check and balance dalam tata kelola negara, karena pejabat yang sama bertindak sebagai regulator sekaligus pengelola investasi,” kata Saleh dalam analisisnya.

Saleh pun menyoroti pengubahan substansi larangan rangkap jabatan melalui PP tersebut. Padahal, dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, PP berada di bawah UU. Saleh menjelaskan, karena UU memiliki kedudukan lebih tinggi daripada PP, maka jika ada pertentangan antara keduanya, seharusnya UU tetap berlaku dan mengesampingkan PP yang bertentangan. 

“Dengan mengubah substansi larangan rangkap jabatan melalui peraturan yang lebih rendah dari undang-undang, pemerintah menciptakan preseden yang dapat melemahkan supremasi hukum,” kata Saleh.

Ketiga, pengecualian kerugian Danantara dari kategori keuangan negara melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Selain itu, pengecualian tersebut juga dapat membuka celah korupsi bagi praktik moral hazard, di mana pengelola mengambil risiko investasi yang tinggi tanpa konsekuensi hukum yang jelas.

Sebagai informasi, Pasal 3H ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang menjadi landasan hukum Danantara mengeluarkan kerugian Danantara dari kategori keuangan negara. Di sisi lain, Pasal 3G UU BUMN dengan jelas mengatur sumber modal Danantara berasal dari Penyertaan Modal Negara, yang dapat berupa dana tunai, barang milik negara, dan saham milik negara pada BUMN, serta berasal dari sumber lain yang tidak dijelaskan secara spesifik dalam undang-undang. 

“Mengeluarkan kerugian Danantara dari kategori keuangan negara berisiko menciptakan ruang abu-abu dalam pengelolaan dana publik (termasuk pajak masyarakat), yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu tanpa pengawasan yang memadai,” ujar Saleh.

Temuan keempat, keuntungan dan kerugian Danantara menurut UU Tipikor adalah kekayaan negara dalam bentuk dipisahkan atau berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN. Padahal, UU Tipikor dalam penjelasan umum telah secara tegas menyatakan bahwa keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara. 

Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mempertegas lingkup keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. "Dengan demikian, keuntungan atau kerugian yang dialami Danantara dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian negara yang tidak bisa dipisahkan," kata Saleh.

Kelima, absennya regulasi mitigasi risiko Danantara meningkatkan potensi gagal bayar, mengancam stabilitas bank BUMN, menciptakan trust issue, serta berisiko memicu dampak sistemik terhadap sektor keuangan tanpa mekanisme perlindungan yang jelas. Diketahui, Danantara mengelola aset bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI, yang memiliki skala aset besar dan peran strategis dalam perekonomian nasional. 

Namun, hingga saat ini belum ada regulasi dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang secara khusus mengatur dampak potensial dari pengelolaan aset ini terhadap stabilitas sektor keuangan. Terutama, kata Saleh, dalam konteks risiko gagal bayar yang dapat muncul jika Danantara tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

“Jika terjadi gangguan likuiditas atau solvabilitas di Danantara, dampaknya dapat merembet ke bank BUMN,” tulis Saleh. Ia pun menegaskan, tanpa adanya regulasi yang jelas, keberadaan Danantara dalam mengelola aset bank BUMN dapat menjadi sumber risiko laten yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Keenam, penghapusan status organ dan pegawai Danantara sebagai penyelenggara negara bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 

Sebagai informasi, Pasal 3X ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa organ dan pegawai Danantara bukan merupakan penyelenggara negara. Hal ini, kata Saleh, merupakan bentuk penghapusan status hukum yang bertentangan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik. 

Ketentuan ini melanggar Pasal 2 UU Penyelenggara Negara, yang dengan jelas menetapkan bahwa pejabat dengan fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara termasuk dalam kategori penyelenggara negara. Saleh menilai Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana Danantara memiliki fungsi strategis yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan negara, terutama dalam pengelolaan keuangan negara dan aset BUMN. 

“Oleh karena itu, menghapus status mereka sebagai penyelenggara negara tidak hanya bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, tetapi juga secara nyata menghilangkan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap mereka,” ujar Saleh.

Dengan status ini, pejabat Danantara tidak wajib melaporkan harta kekayaannya ke Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Mereka juga tidak terikat kode etik penyelenggara negara, serta lolos dari pengawasan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang berfungsi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. “Upaya ini menciptakan celah hukum yang berbahaya, di mana pejabat yang mengelola dana besar dan aset negara terlepas dari kewajiban pertanggungjawaban publik,” tulis Saleh.

Ketujuh, pemberian imunitas hukum kepada menteri, organ, dan pegawai Badan yang tidak dapat dituntut secara hukum menghapus batas pertanggungjawaban pidana, memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. 

Pasal 3Y UU BUMN memberikan imunitas hukum kepada menteri, organ, dan pegawai badan jika mereka dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan akibat kesalahan atau kelalaian mereka serta bahwa mereka telah bertindak dengan itikad baik. Padahal, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menegaskan pertanggungjawaban terhadap perbuatan yang merugikan keuangan negara. 

Menurut Saleh, ketentuan ini berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. “Dalam beberapa kasus, mekanisme ini dapat digunakan sebagai bentuk penghindaran pertanggungjawaban pidana atau deliberate obfuscation of liability, di mana pejabat secara sengaja mengaburkan tanggung jawab hukum mereka dengan dalih administratif atau prosedural,” ujar dia.

Kedelapan, pembentukan komite pengawas bersifat opsional, bukan kewajiban, dan tidak memiliki parameter yang jelas terkait komposisi, kewenangan, serta tugas dan fungsi pengawasan. 

Menurut analisis Celios, revisi UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN tidak memberikan dasar yang kuat mengenai pengawasan Danantara oleh Komite Pengawas yang terdiri dari KPK, Kejaksaan, BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Sebaliknya, regulasi yang ada justru memberikan kendali penuh kepada Presiden, tanpa mekanisme pengawasan yang independen dan mengikat. Pasal 24 PP Nomor 10 Tahun 2025 secara eksplisit menyerahkan kewenangan untuk membentuk Komite Pemantau dan Akuntabilitas (Oversight and Accountability Committee) sepenuhnya kepada Presiden. 

“Dengan pengawasan yang bergantung sepenuhnya pada kehendak Presiden, tidak ada jaminan transparansi dan akuntabilitas yang nyata,” ujar Saleh. 

Presiden pun dapat sewaktu-waktu membentuk atau membubarkan Komite Pengawas. “Alih-alih menjadi instrumen pengawasan yang efektif, regulasi ini justru membuka potensi konsolidasi kekuasaan eksekutif tanpa kontrol yang memadai,” tutur Saleh.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |