TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat merespons laporan pemerintah soal lonjakan defisit APBN per 28 Februari 2025 hingga 0,13 persen atau mencapai Rp 31,2 triliun dari produk domestik bruto (PDB).
Artinya, untuk pertama kalinya sejak 2021, APBN mencatatkan defisit. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp 26,04 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Munculnya defisit fiskal sejak awal tahun menandai bahwa tahun 2025 tidak bisa lagi dipandang sebagai tahun fiskal biasa," kata Achmad dihubungi pada Kamis, 13 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.
Terkait dengan pembengkakan defisit itu, Achmad menilai pemerintah harus segera menata ulang prioritas belanja di tengah penurunan pendapatan. "Belanja yang tidak mendukung pemulihan ekonomi atau pengurangan kemiskinan harus dievaluasi. Program-program populis dengan anggaran besar seperti makan siang gratis perlu dikaji ulang dalam kerangka keberlanjutan fiskal," ucapnya.
Sebab, bila tidak ada langkah antisipatif pemerintah, defisit bisa melambung hingga Rp 800 triliun atau sekitar tiga persen dari PDB. "Jika reformasi fiskal tidak segera dilakukan, kita berisiko masuk dalam lingkaran defisit yang terus melebar, beban utang yang meningkat, dan terbatasnya ruang fiskal untuk mendukung kebutuhan dasar rakyat," ucapnya.
Untuk itu, ia merekomendasikan tiga langkah utama. Pertama, audit independen terhadap sistem Coretax untuk mengatasi hambatan teknis dan memastikan penerimaan pajak kembali normal.
Kedua, peninjauan ulang belanja negara dengan fokus pada program yang berdampak langsung pada rakyat miskin dan pemulihan ekonomi. Ketiga, diversifikasi sumber pendapatan negara melalui optimalisasi dividen BUMN dan efisiensi aset negara.
Menurut Achmad, Indonesia saat ini membutuhkan langkah nyata dalam menata fiskal negara. "Bukan sekadar optimisme atau penundaan kebijakan, tetapi reformasi fiskal yang terukur dan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat," katanya.
Tak hanya defisit, kata Achmad, pendapatan negara dan penerimaan pajak yang menurun turut mencoreng kinerja fiskal di awal tahun. Data APBN KiTa edisi Februari 2025 mencatatkan pendapatan negara sebesar Rp 316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini.
Ketimbang periode serupa pada 2024, menurut Achmad, pendapatan negara jeblok hingga 20,85 persen dari sebelumnya Rp 400,4 triliun. "Penurunan ini merupakan sinyal keras bahwa fondasi fiskal Indonesia sedang menghadapi tekanan berat, bahkan sebelum memasuki kuartal kedua tahun anggaran,” tutur Achmad.
Hal serupa terjadi pada penerimaan pajak yang anjlok hingga 30,19 persen menjadi Rp 187,8 triliun bila dibandingkan dengan pendapatan per Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. "Coretax yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi perpajakan justru menghadirkan tantangan baru. Banyak wajib pajak kesulitan melaporkan dan membayar pajak, yang berdampak pada anjloknya penerimaan pajak," ucapnya.
Sebaliknya, belanja negara hingga Februari 2025 tetap tinggi, yakni sebesar Rp 348,1 triliun atau 9,6 persen dari target. Walau secara nominal sedikit lebih rendah dibandingkan belanja pada Februari 2024 yang mencapai Rp 374,32 triliun, besarnya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, termasuk belanja sosial, subsidi, hingga program lainnya membuat tekanan fiskal kian berat.
Pernyataan Achmad menanggapi pengumuman oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal defisit Rp 31,2 triliun. Menkeu menilai angka defisit itu masih dalam target APBN 2025 yang sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.