Dietplastik Indonesia Ingatkan Ancaman dari Pertambahan Sampah Organik di TPA

4 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang ada, khususnya di kota-kota besar. Problem terkini yang dimunculkan adalah timbulan emisi gas metana.

Senior Research Lead Dietplastik Indonesia Zakiyus Shadicky, menyatakan penyebab problem itu berpangkal dari kebijakan pengelolaan sampah yang masih banyak bertumpu pada upaya di hilir. Disebutkannya, mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, sebanyak hampir 50 persen komposisi sampah di Jakarta terdiri dari sampah organik atau sisa makanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Setelah lebih dari satu dekade Dietplastik Indonesia melakukan intervensi pengurangan sampah plastik sekali pakai, kami tidak bisa menghiraukan bahwa sampah organik merupakan salah satu sampah yang ada di TPA," kata Zakiyus.

Diterangkannya, tumpukan sampah di TPA berkontribusi untuk meningkatkan emisi gas metana. Dan, dia menambahkan, "Isu metana masih jarang dibicarakan sehingga sampah di TPA masih terus bertambah yang berkontribusi pada peningkatan gas metana di mana lebih berbahaya daripada karbon dioksida."

Karenanya, Zakiyus menekankan adanya sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk upaya pengurangan sampah. Proyek MERIT (Methane Emission Reduction Initiative for Transparency) Dietplastik Indonesia disebutnya bisa memperkuat upaya sinergi tersebut. Proyek berupa pengukuran emisi metana untuk mendapatkan data emisi beserta komposisi sampah yang ada di TPA.

Kepala Seksi Pengurangan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Ema Maulana mengatakan Jakarta sudah memiliki paket kebijakan yang lengkap untuk  pengelolaan sampah. Bahkan aturan-aturan yang dimiliki tidak hanya mencakup bidang lingkungan hidup saja, namun juga mencakup bidang pariwasata, pendidikan, dan bidang lainnya.

"Di sisi lain, rumah tangga juga berperan dalam pengelolaan sampah, terutama dalam
pemilahan sampah," kata Ema sambil menambahkan, "Infrastruktur pengelolaan sampah juga menjadi elemen penting agar tercipta perubahan perilaku bagi masyarakat untuk bisa mengelola sampah.”

Mewakili kelompok masyarakat, Koperasi Kompos RW 16 Penggilingan, Cakung,
Jakarta Timur, membagikan pengalaman dalam mendorong pemilahan sampah dari rumah, membangun bank sampah, dan menggerakkan partisipasi warga secara sukarela di tengah berbagai keterbatasan sumber daya.

Disebutkan, Koperasi Kompos terbentuk secara mandiri untuk mewujudkan mimpi agar bisa mengelola sampah bersama. Salah satu kunci utama untuk dapat menerapkan sistem pengelolaan sampah di rumah tangga adalah membentuk keterampilan kolektor data, sehingga gambaran mengelola sampah itu tidak hanya kerja otot, tapi juga dengan otak.

"Saat ini, upaya yang kami lakukan bisa menjadi kebanggaan bagi warga kami sendiri," kata Shanty Syahril, Koordinator Koperasi Kompos Kader Penggerak KUPILAH RW 16 Penggilingan, Cakung.

Adapun Rendhia Labde, CEO Magalarva, menceritakan bagaimana sistem pengolahan sampah organik menggunakan larva lalat tentara hitam (BSF) mampu mengelola limbah dapur skala besar dengan efisien dan menghasilkan produk sampingan bernilai ekonomi. Namun, menurutnya, bisnis pengelolaan sampah organik dengan metode maggot ini memiliki tantangan.

Rendhia menyebutkan teori yang dipelajari untuk budidaya maggot tidak
semudah yang terlihat di lapangan. Bahkan tidak mudah mendapatkan akses untuk mendapatkan sampah organik yang sebenarnya melimpah, terutama mendapatkan sampah yang kualitasnya baik untuk diolah.

"Di situlah kami di Magalarva terus berinovasi untuk mengembangkan bisnis sekaligus menyelesaikan masalah sampah,” kata Rendhia. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |