Diskusi Festival Film Tempo: Produksi Film Indonesia Terkendala Lokasi, Anggaran, hingga Perizinan

3 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Lokasi syuting kerap menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Tak jarang, tempat yang muncul dalam film berubah menjadi destinasi wisata baru. Fenomena ini menjadi pembahasan utama dalam diskusi ‘Film & Peluang Pengembangan Wisata’ yang digelar menjelang malam puncak Festival Film Tempo pada Rabu, 5 Februari 2025, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diskusi menghadirkan produser sekaligus pendiri Relate Film Perlita Desiani, peneliti budaya pop Hikmat Darmawan, serta redaktur Tempo Iwan Kurniawan. Mereka juga membedah tantangan produksi film di Indonesia—dari pencarian lokasi hingga perizinan yang berbelit, hingga bagaimana pemerintah daerah semestinya menyikapi tren wisata berbasis film. Diskusi ini disiarkan langsung di kanal YouTube Tempodotco pada Sabtu, 1 Februari 2025.

Tantangan Pemilihan Lokasi Syuting

Dalam industri perfilman, lokasi bukan hanya sebatas latar, tapi juga elemen yang membangun dan menghidupkan cerita. Sebagai sineas, bagi Perlita Desiani, pencarian lokasi ideal dimulai sejak tahap penulisan skenario. “Dari awal kami sudah mulai diskusi, mau pakai lokasi apa, set-nya seperti apa,” ucapnya.

Sebagai contoh, dalam film garapannya, Pernikahan Arwah (2025) yang mengangkat tema Tionghoa Peranakan era 1950-1960-an, lokasi menjadi faktor kunci. Namun, mencari lokasi yang sesuai bukan perkara mudah. Banyak tempat yang secara visual menarik tetapi sulit diakses atau tidak siap untuk dijadikan lokasi syuting. “Kalau memilih lokasi untuk syuting, menurut saya harus memang yang tepat untuk ceritanya,” kata dia.

Perizinan dan Insentif Jadi Tantangan Besar di Indonesia

Tantangan terbesar dalam produksi film di Indonesia adalah perizinan. Lokasi syuting di Indonesia, terutama di Jakarta, sering kali lebih sulit diurus dibandingkan produksi di luar negeri. Perlita menekankan bahwa biaya produksi kerap membengkak karena tidak adanya kejelasan tarif dan perizinan yang berbelit.

“Susah karena memang banyak sekali pihak-pihak yang—kok mendadak ada ya,” ucapnya. Ia menilai, pihak tertentu yang tiba-tiba meninta biaya tambahan dan membuat biaya produksi membengkak. Akibatnya, beberapa produser memilih syuting di luar negeri karena hitungan anggarannya lebih pasti. Di beberapa negara lain, menurutnya sistem perizinan juga lebih tertata.

Perlita kemudian menekankan pentingnya regulasi yang lebih jelas dan terstruktur bagi industri film di Indonesia. Ia menyoroti bahwa saat ini belum ada sistem terpadu atau mekanisme yang memudahkan produser, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengurus syuting di Indonesia. “Akan sangat nyaman kalau kita punya pemerintah yang sudah punya panduan jelas. Siapapun yang mau syuting di Indonesia, di Jakarta misalnya, harus tahu ke mana mereka harus mengurus izin. Sekarang, itu belum ada,” ucapnya. 

Padahal, di banyak negara, sistem seperti ini sudah diterapkan dengan baik. Setiap daerah memiliki skema insentif sendiri—baik berupa tax holiday (pembebasan pajak), tax rebate (potongan pajak), atau dukungan anggaran—yang memudahkan produser dalam merancang anggaran produksi. Jika Indonesia bisa menerapkan kebijakan serupa, Perlita menilai, industri film nasional akan lebih kompetitif. 

Menurut Hikmat Darmawan, selaku peneliti budaya pop, sebenarnya masalah ini bisa diatasi jika pemerintah lebih serius mengelola insentif. Ia juga menambahkan bahwa tim di Kemenparekraf sebelumnya telah melakukan kajian mendalam selama tiga tahun. “Perhitungannya sudah ada, sampai ke detail teknis. Tapi masih mentok di Kementerian Keuangan, belum dapat lampu hijau,” ujarnya. 

Ia menilai, hambatan ini lebih disebabkan oleh faktor kebijakan di tingkat pengambil keputusan. “Tapi ini masalah political will juga sih akhirnya, dari pihak yang menentukan,” kata dia menambahkan. Jika kebijakan dan regulasi diperbaiki, Hikmat juga optimistis Indonesia bisa menjadi destinasi syuting yang lebih menarik, terutama di Jakarta. “Kalau kita konsentrasi di Jakarta, saya kira kita punya peluang besar untuk mendorong bukan hanya soal perizinan, lokasi, atau cashback, tapi juga infrastrukturnya,” ujarnya.

Fenomena Destinasi Wisata Berbasis Film

Hikmat juga melihat bahwa lonjakan kunjungan ke lokasi-lokasi film bukan sekadar fenomena FOMO (fear of missing out), melainkan bagian dari tren wisata berbasis narasi. Contohnya Belitung yang melejit setelah Laskar Pelangi (2008), atau Gereja Ayam di Magelang yang ramai dikunjungi setelah film Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016). 

Ia melihat fenomena tersebut sebagai bentuk ‘postcard effect’—ketika film berfungsi layaknya kartu pos digital yang memperkenalkan suatu tempat. Ia menilai, film bisa membuat tempat biasa menjadi destinasi wisata sehingga penonton ingin datang karena terpesona dengan lanskap yang muncul di layar. “Film itu lebih banyak berfungsi sebagai medium cerita. Sementara destinasi sekarang ya tren untuk wisata itu kan berbasis naratif,” ungkapnya.

Mantan Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu merinci, ada dua jenis lokasi yang kerap menjadi viral: tempat wisata yang sudah dikenal tapi mendapat daya tarik baru dari film, serta lokasi yang sebelumnya tidak terkenal tetapi mendapat sorotan baru karena sinema. Namun, tidak semua daerah siap menghadapi lonjakan wisatawan. 

“Birokrasi kita memang harus di dorong untuk bagaimana segera bisa merespon,” ujar Iwan Kurniawan, redaktur Tempo. Akibatnya, muncul masalah klasik seperti kemacetan, infrastruktur tidak memadai, hingga keluhan lainnya seperti kerusakan jalanan. Pemerintah daerah, kata Iwan, harus lebih sigap merespons fenomena tersebut.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |