Dosen Fisipol UGM Membedah Kegagalan Independensi KPK

3 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia menyoroti kebijakan 100 hari Prabowo dan Gibran dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.

Alfath mengungkapkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengatasi pemberantasan korupsi punya banyak intervensi sehingga menghilangkan sifat independennya. 

Salah satu intervensi tersebut tercermin dalam agenda pemilihan Setyo Budiyanto sebagai pimpinan KPK yang dilakukan sebelum Jokowi lengser. Berdasarkan pengamatan Alfath, intervensi dalam KPK tersebut mengindikasikan bahwa orang-orang yang dipilih dari awal pemerintahan Prabowo dan Gibran adalah orang-orang yang sudah dikehendaki Jokowi.

“Jokowi enggak bakal dikaitkan dengan isu korupsi karena orang-orang yang terpilih menjadi komisionernya adalah orang-orang yang sudah dalam tanda kutip disepakati oleh Jokowi. Sebenarnya, kalau mau kita lihat, agendanya ditujukan kepada aktor-aktor yang berhadapan dengan kekuasaan,” kata Alfath kepada Tempo pada Jumat, 31 Januari 2025.

Selama 100 hari pemerintahan Prabowo dan Gibran, muncul berita menghebohkan terkait dugaan korupsi dari pihak lawan, misalnya penetapan tersangka korupsi atas Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP. Namun, berita terkait dugaan korupsi terhadap Jokowi tidak pernah dimunculkan oleh KPK, bahkan setelah mantan presiden tersebut masuk ke dalam nominasi lima tokoh terkorup 2024 oleh OCCRP.

Berbicara mengenai efektivitas KPK, maka institusi tersebut seharusnya bisa memiliki gerak yang independen. “Kita merindukan KPK sebelum revisi Undang-Undang KPK pada 2019,” katanya. 

KPK memiliki kemampuan dan kewenangan yang luar biasa, namun muncul pengebirian atas kewenangan KPK dan para aktor yang ada di dalam institusi tersebut. Pengebirian KPK menjadi catatan krusial dalam agenda penanganan korupsi. Selain itu, Alfath juga menyoroti munculnya persoalan terkait dengan transparansi anggaran dan reformasi birokrasi yang ikut memainkan peran yang sangat krusial dalam mendukung efektivitas pemerintahan.

Alfath mengungkapkan, “Cara kerja dan cara pandang birokrasi harus diperbaiki karena kalau misalnya kita merasa sistemnya buruk maka sebenarnya complicated. Ini kaitannya dengan manusianya dan sistem yang sedang dibangun. Jadi, budaya kerja harus diperbaiki, manusianya harus diperbaiki, yang terakhir soal kemauan atau political will dari pemerintah untuk  memproteksi itu semua.”

Jika dibedah, jumlah pimpinan KPK terlalu merepresentasikan aparat penegak hukum (APH). Bila melihat keanggotaan KPK, terdapat berbagai unsur lembaga lain, seperti unsur kejaksaan, unsur kepolisian, hingga unsur badan usaha. Dengan demikian, muncul kekhawatiran terkait pihak yang diwakili oleh tokoh-tokoh di balik organisasi KPK.

“Apakah mewakili institusi asalnya? Contoh sederhana, misalnya pimpinan KPK berlatar belakang polisi. Kalau ada kasus di kepolisian, apakah KPK berani menindak mereka semua? Itukan pertanyaan kunci karena tidak independen tadi,” ujar Alfath.

Sebelumnya, pimpinan dan anggota KPK diisi oleh para akademisi dan masih terdapat perwakilan dari sektor ketiga berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun, KPK saat ini lebih banyak diduduki oleh para penegak hukum yang dikhawatirkan memunculkan conflict of interest dengan institusi asalnya. Selain itu, pimpinan KPK saat ini sangat disayangkan tidak memiliki representasi perempuan.

Polemik KPK lainnya yang dapat dilihat dari sudut pandang Alfath adalah soal status anggota KPK yang saat ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, ASN dituntut untuk taat kepada penguasa.

“Nah, ini menyulitkan kerja KPK karena (ASN) semuanya dibayar oleh negara. Hal tersebut sangat potensial untuk bisa dikendalikan oleh rezim yang berkuasa,” ujarnya.

Alfath merasa bahwa sistem rekrutmen terhadap pihak penegak hukum dan pemberantasan korupsi masih bermasalah. Kasus besar yang berkaitan dengan korupsi sering mendapat hukuman ringan, sementara mereka yang tidak memiliki kekuasaan dihukum sangat berat.

“Hukum ini sebenarnya berpihak kepada kekuasaan saja. Saya kira masih akan terus terjadi dan seandainya tidak diperbaiki maka kinerja Prabowo-Gibran tidak akan berubah,” katanya.

Pilihan Editor: 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran, Dosen UGM: Posisi KPK di Bawah Presiden Jadi Penghambat Pemberantasan Korupsi

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |