Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina.
25 Februari 2025 | 14.10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum memberikan keterangan lebih lanjut terkait penetapan sejumlah pejabat PT Pertamina (Persero) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang oleh Kejaksaan Agung.
Juru bicara Kementerian BUMN, Putri Violla, menyatakan masih terus berkomunikasi dengan Pertamina terkait perkembangan kasus tersebut. “Sejauh ini kami masih berkomunikasi. Kalau nanti ada informasi terbaru, pasti akan kami sampaikan,” ujarnya saat ditemui di Kementerian BUMN, Selasa, 25 Februari 2025.
Saat ditanya apakah Kementerian BUMN sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung mengenai kasus ini, Putri menyebut komunikasi sejauh ini masih terbatas dengan pihak internal Pertamina. “Sejauh ini komunikasi yang terjalin, baru antara Kementerian BUMN dengan Pertaminanya. Jadi nanti kalau kita sudah dapatkan informasi lebih lanjut lagi, kami akan sampaikan,” ujarnya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, yang terdiri dari pejabat di jajaran direksi anak usaha Pertamina. Mereka diduga mengatur kebijakan produksi minyak kilang domestik agar berkurang, sehingga mengharuskan impor dalam jumlah besar. Akibat praktik ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 193,7 triliun.
Tersangka antara lain Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Penyidik menemukan indikasi, tersangka secara sengaja mengatur kebijakan produksi minyak kilang domestik agar berkurang, sehingga mengharuskan impor dalam jumlah besar. Padahal, menurut aturan yang berlaku, pasokan minyak mentah dalam negeri harus diutamakan sebelum melakukan impor.
“Namun, tersangka mengondisikan hasil rapat optimasi hilir (OH) untuk menurunkan readiness kilang, yang berujung pada penolakan minyak mentah dari kontraktor dalam negeri dan akhirnya mendorong impor,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, Senin, 24 Februari 2025.
Dalam praktiknya, minyak mentah dalam negeri yang masih memenuhi standar kualitas justru ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai. Sementara itu, minyak mentah dari luar negeri diimpor dengan harga lebih tinggi melalui perantara atau broker yang telah disepakati sebelumnya.