TEMPO.CO, Jakarta - Lesunya daya beli masyarakat turut dirasakan oleh sejumlah toko retail. Tumpukan persediaan makanan dan minuman yang biasanya dijadikan hadiah atau parcel setiap kali lebaran, tampak masih menggunung hingga penghujung bulan.
“Ini harusnya dari H-4 Lebaran tuh sudah habis, tahun lalu juga begitu,” ujar Dani salah satu staf di Indomaret, Jalan Palmerah, Jakarta Barat kepada Tempo, Minggu, 30 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dani, tahun ini retail tempatnya bekerja sudah mengurangi volume stok dagangan untuk parcel dibanding tahun lalu. Alasannya, daya beli masyarakat sudah terasa menurun sejak bulan-bulan sebelumnya.
Oleh karena itu, kata dia, manajemen menurunkan jumlah pasokan barang untuk mengantisipasi banyaknya dagangan yang tak terjual. “Itu pun sampai sekarang masih tersisa (belum terjual) 20 persennya,” tutur dia.
Beberapa stok yang masih menumpuk itu di antaranya kue kering dalam kemasan kaleng seperti merek Kong Ghuan, Nabati, Chocolatos, dan lain sebagainya. Kemudian ada juga sirup jeruk merek ABC, Marjan serta minuman kemasan lainnya. Di depannya, kesemua barang itu tertera label harga yang telah didiskon. “Penurunan setiap bulannya itu bertahap, tapi makin ke sini makin terasa,” ucap Andi. “Mulai dari berkurangnya pengunjung, sampai yang dibeli juga ditahan-tahan.”
Tak jauh berbeda, Rendras Hartono, kru di retail Alfamart Binus, Jakarta Barat, juga mengamini adanya pelemahan daya beli. Dia menyebut hal itu tampak dari persediaan barang dagangan yang masih menumpuk, meski bulan Ramadan ini segera berakhir. “Lumayan, terasa berkurang dibanding tahun lalu. Seperti yang dilihat, masih tersisa berapa banyak itu,” kata dia kepada Tempo sembari menunjuk tumpukan stok parcel.
Di depan meja kasir itu, setumpuk barang dagangan disajikan sedemikian rupa dan dilengkapi sejumlah ornamen penghias. Ia mengatakan barang yang tersisa itu diperkirakan mencapai 25 persen dari persediaan semula. “Kalau stok, kami sama kaya tahun lalu. Tapi biasanya tanggal segini sudah habis. Ini mungkin baru kita jual 70 persenlah,” katanya.
Penurunan daya beli masyarakat ini salah satunya tercermin dari deflasi yang terjadi pada awal 2025. Pada Februari lalu, penurunan harga tercatat sebesar 0,1 persen secara tahunan. Ini merupakan tingkat deflasi terendah sejak Januari 2000 yang saat itu mencapai 1,1 persen. Menurut survei Bank Indonesia (BI), penurunan keyakinan konsumen tersebut dipicu oleh persepsi masyarakat bahwa ketersediaan lapangan kerja dalam kondisi sulit.
Mengutip laporan Tempo berjudul ‘Mengapa Ekonomi Lebaran 2025 Lesu’, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Dzulfian Syafrian, mengatakan bahwa salah satu penyebab banyaknya masyarakat yang menahan daya belinya adalah adanya fenomena penurunan kualitas pekerjan. Meskipun jumlah pekerjaan terus bertambah, banyak yang bersifat informal dengan pendapatan tidak stabil.
Walhasil, mayoritas pekerja berada di sektor berpenghasilan rendah, semetara pekerjaan formal yang menawarkan stabilitas, kontrak kerja, dan jaminan sosial justru makin berkurang. “Hal ini membuat pendapatan rumah tangga lebih tidak menentu, teruatama pada momen Lebaran ketika konsumsi biasanya meningkat,” ujarnya, Selasa, 25 Maret 2025.
Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.