TEMPO.CO, Jakarta - Lonjakan harga bawang putih kembali menjadi bahasan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Senin, 24 Maret 2025. Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Edy Priyono meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewaspadai kenaikan harga bawang putih yang kini tembus Rp 50 ribu per kilogram di sejumlah tempat.
“Ini mohon untuk menjadi perhatian, terutama dari instansi terkait dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan," kata Edy yang juga pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Senin, 24 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo edisi Selasa, 18 Maret 2025 mengungkap penyebab kenaikan harga tak wajar itu. Lima orang importir yang tak mendapat jatah impor bercerita, para importir penerima rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dan surat persetujuan impor (SPI) menunda realisasi impor karena menghindari operasi pasar.
Pasalnya, harga yang didapat mereka dari Cina mencapai US$ 1.445 per ton. Dengan kurs dolar Amerika Serikat 16.400, harga bawang putih dari Negeri Tirai Bambu sebesar Rp 23.698.000 per ton atau setara Rp 23.698 per kilogram.
Ditambah tetek-bengek biaya transportasi, total kocek yang harus dirogoh importir hingga bawang putih sampai ke gudang mereka mencapai Rp 25.198 per kilogram. Dari sini, harga jual di tingkat importir mencapai Rp 33.500 per kilogram. Harga ini lebih tinggi dari harga yang dipatok pemerintah untuk operasi pasar, yakni Rp 32 ribu per kilogram.
Ada pula dugaan importir penerima jatah impor sengaja menahan stok agar harga naik selama Lebaran. Para importir yang tak menerima jatah bercerita, harga bawang putih di Cina saat ini relatif tinggi karena produksi terbatas. Sedangkan Mei hingga Juni, produksi berlimpah sehingga bawang putih dibanderol murah. Di momentum ini, para importir akan mengambil kesempatan meneguk margin super tebal.
Selain itu, lonjakan harga bawang putih disebabkan para importir lama yang rata-rata tak mendapat jatah impor harus membeli kuota impor dari para importir pemegang RIPH dan SPI. Tapi ada mahar tambahan yang ditebus untuk memperoleh kuota itu, yakni Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu per kilogram. Karena pengusaha tentu tak mau rugi, setelah memperoleh kuota mereka menaikkan harga jual bawang putih di pasaran.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengendus dugaan maladministrasi dalam pembagian RIPH kepada 87 perusahaan baru. RIPH dan SPI, ujar dia, merupakan insentif kepada pelaku usaha yang mau bekerja benar. Bagi Yeka, aneh jika pelaku usaha yang telah lama berkecimpung di dunia impor bawang putih tiba-tiba tak memperoleh kuota.
Yeka tak percaya jika seluruh pelaku usaha yang telah lama malang-melintang di bisnis bawang putih itu tak taat aturan. Menurut dia, banyak pelaku usaha baik-baik yang layak mendapatkan RIPH. “Saya khawatir perusahaan baru jadi cangkang. Tapi pemain yang sebenarnya orang lama. Ada aktivitas rente di sini,” ujar Yeka saat diwawancara Tempo melalui sambungan telekonferensi, Selasa, 25 Februari 2025.
Ihwal perusahaan-perusahaan seumur jagung yang menerima rekomendasi impor, ia mengatakan, ada dugaan mereka memiliki privilese. Ia mempertanyakan alasan pemerintah memberikan privilese itu kepada para pelaku usaha baru ini. “Itu pertanyaan yang dugaan maladministrasinya kental banget,” ujar lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.