TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menggeledah rumah mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dana iklan pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB).
"Betul, terkait perkara BJB," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto di Jakarta, Senin, 10 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK pada Rabu, 5 Maret 2025, mengumumkan telah memulai penyidikan kasus dugaan korupsi di lingkungan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tbk.
"Ya, kami sudah menerbitkan surat penyidikan," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto.
Sejauh ini KPK belum mengumumkan tersangka kasus ini. "Tindak lanjut terhadap penanganannya, setelah dilakukan rilis terkait penentuan terhadap perkara tersebut, ya jadi kewenangan dari penyidik dan direktur atau deputi kapan akan dilakukan tindak lanjutnya," kata Setyo.
Ridwan Kamil membenarkan bahwa rumahnya telah digeledah oleh tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi di PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB).
“Bahwa benar kami didatangi oleh tim KPK terkait perkara di BJB. Tim KPK sudah menunjukkan surat tugas resmi,” kata Ridwan Kamil dalam keterangan yang diterima di Bandung, Senin
Ia menegaskan bahwa dirinya siap bersikap kooperatif dalam proses penggeledahan tersebut dan mendukung KPK dalam penyelidikan terkait perkara tersebut
“Kami selaku warga negara yang baik sangat kooperatif dan sepenuhnya mendukung serta membantu tim KPK secara profesional,” ujarnya.
Namun, Ridwan Kamil enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai penggeledahan itu.
“Hal-hal terkait lainnya kami tidak bisa mendahului tim KPK dalam memberikan keterangan, silakan insan pers bertanya langsung kepada tim KPK,” kata dia seperti dikutip Antara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 58/ 1999 tentang Direksi dan Dewan Pengawas Bank Pembangunan Daerah, posisi gubernur tidak boleh terlibat langsung di majamen bank. Namun pengangkatan direksi dilakukan oleh gubernur berdasarkan RUPS.
5 Calon Tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana iklan di Bank BJB. Namun, KPK belum mau mengungkapkan siapa saja kelima orang tersebut.
"Sudah ada tersangkanya, sekitar lima orang," ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung KPK, Jakarta Selatan, pada Senin, 10 Maret 2025.
Dia mengatakan, kelima tersangka tersebut antara lain penyelenggara negara dan pihak swasta. Namun, Tessa tak mengungkapkan komposisinya.
Tessa mengatakan, KPK bakal merilis kasus korupsi Bank BJB lebih lanjut pada pekan ini. Hari ini, Tim Kedeputian Penindakan dan Eksekusi menggeledah sejumlah tempat di Bandung terkait dengan kasus dugaan korupsi Bank BJB. "Bahwa terjadi pengelolaan di wilayah Bandung terkait dengan perkara BJB, benar," ujar Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat dihubungi Tempo.
Fitroh mengonfirmasi bahwa salah satu tempat yang digeledah adalah kediaman eks Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau biasa disapa Kang Emil atau RK. Rumah yang digeledah berada di Jalan Gunung Kencana Mas, Ciumbuleuit, Kota Bandung.
Sebelumnya, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan atau sprindik untuk mengusut perkara dugaan korupsi dana iklan BJB.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo edisi 22 September 2024 berjudul 'Siapa Terlibat Korupsi Anggaran Iklan Bank BJB’, kabar kasus dugaan korupsi dana iklan BJB memantik silang komentar para penyidik dan pimpinan KPK.
Pada Selasa, 27 Agustus 2024, Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata sudah memberi kisi-kisi bahwa komisi antirasuah sedang menyelidiki kasus ini. Delapan belas hari kemudian, beredar kabar bahwa sudah ada tersangka dalam kasus korupsi Bank BJB.
Pada hari yang sama, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu membenarkan adanya penyidikan, tetapi belum mengeluarkan sprindik. Namun besoknya, tepatnya Ahad, 15 September 2024, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto meralat kabar soal penyidikan kasus BJB, termasuk penetapan tersangka. “Belum ada surat perintah penyidikan,” ujar Tessa kepada wartawan waktu itu.
Menurut Majalah Tempo, seorang penegak hukum di KPK memastikan komisi antirasuah sudah menggelar rapat ekspose perkara kasus BJB pada pekan pertama September 2024. Semua peserta rapat menyetujui penanganan kasus itu naik ke tingkat penyidikan.
Rapat itu juga memutuskan ada lima calon tersangka. Dua orang adalah petinggi Bank BJB, sementara tiga lainnya adalah pihak swasta. Mereka dituding berkomplot menggelembungkan anggaran dan belanja iklan yang merugikan keuangan bank yang saham mayoritasnya dikuasai Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Penetapan status tersangka kelima orang itu tinggal menunggu surat administrasi penyidikan. Namun, Tessa Mahardhika tak mau berkomentar tentang kenapa surat penyidikan tak kunjung dibuat.
“Patokan saya register sprindik, dan saat ini belum ada,” kata dia.
Sementara itu, Alexander Marwata yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, membenarkan kabar bahwa sudah ada forum ekspose antara pimpinan, penyelidik, dan penyidik dalam kasus ini. Menurut dia, penerbitan surat perintah penyidikan cuma masalah waktu. “Kadang bisa cepat, kadang bisa lama,” ucap dia pada Selasa, 17 September 2024.
Kerugian negara dalam kasus Bank BJB sebenarnya sudah termuat dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu BPK bernomor 20/LHP/XVII.BDG/03/2024 yang terbit pada 6 Maret 2024. Dokumen tersebut berisi hasil audit sejumlah kegiatan PT Bank BJB tahun buku 2021-2023. Satu di antaranya, realisasi pengelolaan anggaran promosi produk dan belanja iklan yang nilainya mencapai Rp 801 miliar.
Temuan yang menjadi sorotan adalah alokasi belanja iklan media massa sebesar Rp 341 miliar. Di dalam dokumen itu, disebutkan Bank BJB menggandeng enam perusahaan agensi sebagai perantara dengan perusahaan media.
Penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendeteksi ada kebocoran sebesar Rp 28 miliar. Angka ini muncul karena nilai riil yang diterima media jauh berbeda dengan pengeluaran Bank BJB.
Dari Rp 37,9 miliar nilai tagihan ke Bank BJB, biaya iklan televisi yang bisa terkonfirmasi hanya Rp 9,7 miliar. Selisih ini dianggap tak wajar, karena dokumen kontrak menyebutkan komisi untuk agensi hanya 1-2 persen dari nilai iklan yang sudah tayang.
Annisa Febiola, Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.