TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Agrarian Resource Center Indonesia, Muhammad Syafiq menjelaskan sejarah kepemilikan lahan oleh petani di Padang Halaban, Sumatera Utara. Menurut dia, petani eks buruh perkebunan asing zaman kolonial di Padang Halaban mendapatkan hak penguasaan atas tanah melalui Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) saat itu.
“Setiap petani punya KTPPT dan diperbolehkan memiliki lahan hingga 2 hektare, sesuai dengan ketentuan pemerintah pada 1958-an. Kartu ini pada saat itu dikeluarkan oleh kantor reorganisasi tanah Sumatera Timur,” kata Syafiq saat konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Selasa, 4 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan kolonial pada 1950-an, menurut Syafiq, sudah menyepakati mengeluarkan luasan lahan konsesi mereka demi kebutuhan rakyat dan pertanian. Dalam konteks Padang Halaban, para petani membuka hutan sampai dengan luasan 2000 hektare saat itu. Perusahaan asal Belanda juga memperbolehkan pendudukan lahan ini dan menyerahkan kepada pemerintah Indonesia untuk mengaturnya.
Tahun terus berganti, hingga akhirnya pada 1963-an pemerintah Indonesia menerapkan aturan bahwa setiap perusahaan yang berbadan hukum asing harus memiliki badan hukum nasional Indonesia kalau ingin terus beroperasi. Kala itu manajemen perkebunan di Padang Halaban berganti dan dijabat sepenuhnya oleh orang Indonesia. Masyarakat Padang Halaban pun tetap menduduki lahan yang sebelumnya mereka terima berdasarkan KTPPT.
Bara konflik mulai terjadi ketika Presiden Soeharto memimpin Indonesia. Menurut Syafiq, ada beberapa aturan yang sebelumnya telah disepakati pemerintah dengan perusahaan asing menjadi berubah. Soeharto disebutnya mengembalikan kepemilikan perkebunan di Padang Halaban kepada pemilik asalnya dari perusahaan Belanda.
“Pada 1968 itu perusahaan belanda atas nama Plantagen meminta pemerintah harus memberikan HGU selama 30 tahun dan mengeluarkan orang-orang yang ada di lahan milik mereka, termasuk para petani yang sudah menduduki lahan tersebut sebelumnya,” ujar Syafiq.
Catatan sejarah yang dikumpulkan Syafiq, menyebutkan kalau pemerintah desa dan aparat keamanan kala itu memanipulasi penduduk Padang Halaban yang memiliki KTPPT. Pemerintah mengambil kartu tersebut dengan dalih akan diperpanjang. Padahal kartu-kartu ini dibakar supaya menghilangkan bukti kepemilikan lahan oleh para petani eks perkebunan asing itu.
Kemudian pada 1972 perusahaan asal Belanda itu diambil alih kepemilikannya oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Pada saat itu pula, kata Syafiq, penggusuran terus dilakukan kepada para petani yang menduduki lahan di Padang Halaban. Dari yang sebelumnya ada 2000 hektare, kini hanya tersisa sekitar 83 hektare saja.
Masyarakat berupaya mengadvokasi diri mereka dan melaporkan kejadian ini hingga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM pada akhir Februari 2025. Salah satu pendamping warga Padang Halaban, Reza Muharam, mengatakan masyarakat Padang Halaban terancam akan digusur oleh perusahaan.
Head of Corporate Communication Sinar Mas Agribusiness and Food, Stephan Sinisuka, juga membenarkan eksekusi lahan Padang Halaban ditunda pada pekan depan. Ditanya ihwal potensi gesekan dengan warga saat Ramadan, ia tak menjawab secara gamblang.
"Kami terus berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini," kata Stephan saat dikonfirmasi Tempo, Jumat. Dia menuturkan, pihaknya berupaya meminimalisir segala gangguan dan kendala dari upaya eksekusi berdasarkan putusan pengadilan.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.