TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional HAM mendesak agar Kapolres Ngada non-aktif, Ajun Komisaris Besar Polisi Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dipidana dan dihukum etik atas pelecehan seksual dan pencabulan terhadap anak. Komnas HAM juga meminta adanya pemberatan hukuman terhadap pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Komnas HAM mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan dengan perlunya sanksi etika dan pidana Kapolres non-aktif Ngada,” kata Uli Parulian Sihombing,
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM di Komnas HAM, dalam keterangan tertulis pada Kamis, 13 Februari 2025.
Uli mengatakan AKBP Fajar mesti dipidana dengan mempertimbangkan pemberatan hukuman karena pelaku sebagai aparat penegak hukum berdasarkan pertimbangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Komnas HAM memandang kasus pencabulan dan pelecehan seksual yang dilakukan Fajar bertentangan dengan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Beleid itu menjelaskan “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara”.
Uli mengatakan tindakan AKBP Fajar juga melanggar Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingan hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum, bahkan sejak dalam kandungan.
Selain itu, kata Uli, pelindungan hak setiap anak juga dijamin dalam Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal itu menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
Pelindungan anak dari kekerasan/kejahatan seksual juga ditegaskan dalam Pasal 15 huruf f UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual.
Karenanya, kata Uli, terjadi pelanggaran HAM terhadap hak-hak anak oleh AKBP Fajar. Komnas HAM juga meminta negara memberikan pemulihan untuk para korban pelecehan seksual dengan menyediakan layanan psikologi untuk para korban, menyertakan restitusi, atau kompensasi dalam proses penegakan hukum, serta pelindungan saksi dan korban.
“Komnas HAM juga mendesak agar pemerintah menjamin peristiwa tersebut tidak terjadi lagi khususnya di lingkungan kepolisian dengan melakukan evaluasi secara berkala melalui uji narkoba secara rutin, dan asesmen psikologi,” ujar Uli.
Buntut kasus tersebut, AKBP Fajar dimutasi ke satuan kerja Pelayanan Markas atau Yanma Polri. Perintah mutasi ini keluar setelah AKBP Fajar diduga memakai narkoba dan mencabuli anak bawah umur serta menjual video mesum ke sebuah situs porno Australia.
Mutasi Kapolres Ngada itu tertuang dalam Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/489/III/KEP/2025 yang dikeluarkan pada 12 Maret 2025. Surat Telegram ini pun sudah memakai paraf bukti audit untuk keabsahannya. "AKBP Fajar Widyadharma Lukman, Kapolres Ngada Polda NTT, dimutasikan sebagai Perwira Menengah Yanma Polri," bunyi Surat Telegram Kapolri itu dikutip Tempo pada Kamis, 13 Maret 2025.
Sebelumnya, tim penyidik dari Direktorat Reskrimum Polda NTT menyatakan korban dugaan pencabulan anak yang dilakukan oleh Kapolres Ngada nonaktif AKBP Fajar Widyadharma Lukman berjumlah satu orang. "Korban satu orang berusia enam tahun," kata Direktur Reskrimum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi dalam jumpa pers di Mapolda NTT, Selasa sore, 11 Maret 2025, dikutip dari Antara.
Dia menuturkan korban yang masih di bawah umur itu dipesan Fajar melalui seorang perempuan berinisial F. Setelah menyanggupi permintaan tersebut, F mencari anak-anak dan membawa korban ke hotel yang sudah dipesan Fajar. Hingga kini Kapolres Ngada nonaktif itu belum ditetapkan sebagai tersangka pencabulan anak.
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.