Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dilakukan secara sistematis dan melibatkan perantara.
Komnas HAM mendesak Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkapkan keberadaan dan peran serta pihak-pihak perantara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saudara Fajar menggunakan perantara Saudari V untuk mencari anak di bawah umur. Saudari V kemudian meminta Saudari F (tersangka usia 20 tahun) untuk mengaku sebagai anak Sekolah Menengah Pertama kepada Saudara Fajar," ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing dalam jumpa pers di Kantornya, Jakarta, Kamis (27/3).
Uli menuturkan tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak oleh Fajar melibatkan peran serta perantara dan/atau dilakukan melalui aplikasi MiChat.
Fajar meminta F untuk membawa anak perempuan yang lebih muda dengan alasan suka bermain dengan anak perempuan. F lantas membawa anak perempuan berusia 6 tahun untuk bermain bersama Fajar.
"Tanpa diketahui Saudari F, Saudari Fajar mencabuli dan merekam perbuatan asusila tersebut," kata Uli.
Ia mengatakan video yang direkam dan disebarluaskan oleh Fajar dilakukan tanpa konsen korban anak (6 tahun) dan dilakukan sebagai bentuk kesenangan karena berhasil mencabuli anak di bawah umur.
"Belum ditemukan bukti yang mengarah pada keuntungan ekonomi dalam perekaman dan penyebarluasan video tersebut," imbuhnya.
Selain itu, Fajar juga melakukan tindakan asusila terhadap anak berusia 16 tahun yang ditemui melalui MiChat dan anak berusia 13 tahun melalui perantara anak usia 16 tahun.
Setidaknya terdapat tujuh kali pemesanan kamar di beberapa hotel di Kota Kupang atas nama Fajar.
"Berdasarkan temuan tersebut, Komnas HAM menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, terhadap anak berusia 6 tahun," ungkap Uli.
"Saudara Fajar selaku aparat penegak hukum menggunakan relasi kuasa untuk melakukan pencabulan terhadap anak perempuan di bawah umur [6 tahun], kemudian merekam aktivitas pencabulan tersebut dan menyebarluaskan hasil rekaman tersebut," lanjut dia.
Bentuk perbuatan lainnya adalah tindakan asusila yang dilakukan oleh Fajar terhadap anak perempuan di bawah umur (usia 13 tahun dan 16 tahun).
Menurut Uli tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi yang dilakukan oleh Fajar patut diduga terlaksana secara sistematis dan melibatkan perantara yang harus diungkap keberadaan dan peran sertanya oleh Polda NTT dalam terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak.
"Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM menilai bahwa Saudara Fajar telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak anak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan eksploitasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang," terang Uli.
Temuan tersebut di atas diperoleh Komnas HAM setelah melakukan koordinasi dan permintaan keterangan kepada Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri dan Ditreskrimum Polda NTT terkait penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.
Kemudian meminta keterangan dua korban anak (13 tahun dan 16 tahun), orang tua korban anak (6 tahun), dan satu tersangka yang membantu Fajar dalam melakukan tindak pidana kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak.
Komnas HAM juga melakukan koordinasi dengan jajaran Pemerintah Kota Kupang terkait pelindungan dan pendampingan korban anak, serta melakukan peninjauan lokasi dan permintaan keterangan saksi-saksi di tempat kejadian perkara.
Atas temuan tersebut, Komnas HAM memberikan rekomendasi ke sejumlah pihak seperti Kepolisian RI, Gubernur NTT dan Wali Kota Kupang serta Menteri Komunikasi dan Digital.
(ryn/dmi)