TEMPO.CO, Jakarta - Kediaman mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) di Jalan Gunung Kencana Mas, Ciumbuleuit, Kota Bandung, digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 10 Maret 2025. Penggeledahan itu terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dana iklan pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB).
“Betul, terkait perkara BJB,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto di Jakarta, Senin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RK membenarkan bahwa rumahnya telah digeledah oleh tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi di Bank BJB. Pihaknya menegaskan siap bersikap kooperatif dalam proses penggeledahan dan mendukung KPK dalam penyelidikan terkait perkara tersebut. Namun, ia enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai penggeledahan itu.
“Hal-hal terkait lainnya kami tidak bisa mendahului tim KPK dalam memberikan keterangan, silakan insan pers bertanya langsung kepada tim KPK,” kata dia dalam keterangan yang diterima di Bandung, Senin, seperti dikutip Antara.
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto juga enggan membuka peran Ridwan Kamil dalam kasus dugaan korupsi Bank BJB ini. Dia tak menjawab ketika ditanya apakah Ridwan Kamil menerima aliran dana. Pihaknya meminta agar awak media menunggu proses penyelidikan kasus tersebut. “Tunggu saja prosesnya,” ujar Fitroh saat dikonfirmasi Tempo pada Senin, 10 Maret 2025.
Aher Pernah Jadi Saksi Kasus BJB Syariah
Penggeledahan kediaman Ridwan Kamil dalam kasus Bank BJB ini mengingatkan saat bekas Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan alias Aher juga pernah disebut dalam kasus dugaan korupsi Bank BJB Syariah pada 2019. Aher dipanggil penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri sebagai saksi pada Rabu, 13 Maret 2019.
Saat itu Bareskrim Polri tengah menyelidiki perkara dugaan tindak pidana korupsi pencairan kredit fiktif Bank BJB Syariah yang menyeret PT Hastuka Sarana Karya (HSK) dan CV Dwi Manunggal Abadi. Kerugian negara dalam perkara tersebut diperkirakan mencapai Rp 548 miliar.
Ahmad Heryawan saat itu memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa sebagai saksi terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi pencairan kredit fiktif Bank BJB Syariah yang menyeret PT Hastuka Sarana Karya (HSK) dan CV Dwi Manunggal Abadi. Kerugian negara dalam perkara ini diperkirakan mencapai Rp 548 miliar.
Aher diperiksa selama sekitar empat jam oleh tim penyidik sebagai saksi. Usai diperiksa, ia mengaku hanya menjawab tidak tahu selama pemeriksaan. Menurutnya yang seharusnya bertanggung jawab dalam dugaan korupsi Bank BJB Syariah adalah pejabat utama di bank tersebut. Sebab, ia mengatakan hanya bertanggungjawab terhadap Bank BJB saja.
“BJB itu kan pemegang sahamnya pemerintah. BJB itu milik pemerintah. Nah, Bank BJB ini punya anak perusahaan namanya Bank BJB Syariah. Jadi saya selaku pemegang saham Bank BJB waktu itu tidak bertanggung jawab langsung ke Bank BJB Syariah. Itu urusan direksi dan komisaris,” kata Aher Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Dana sebesar Rp 548 miliar tersebut dicairkan Bank BJB Syariah kepada PT HSK dan CV Dwi Manunggal Abadi untuk pembiayaan pembangunan Garut Super Blok di Garut, Jawa Barat, periode 2014-2015. Aher mengatakan, dia baru mengetahui ada kredit macet setelah mendapat laporan dari direksi di Bank BJB selaku induk perusahaan Bank BJB Syariah.
“Saya perintahkan agar hal itu diantisipasi dan jangan lupa untuk menyelesaikannya tanpa ada gonjang-ganjing karena ini masalah keuangan dan kepercayaan publik,” kata Aher.
Dalam kasus ini, Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan mantan pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Bank Jabar Banten Syariah (BJBS) Yocie Gusman sebagai tersangka. Ia merupakan bekas Ketua DPC PKS Kota Bogor. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam memberikan kredit kepada PT. HSK periode 2014 hingga 2016.
Yocie Gusman diduga tidak menaati prosedur saat memberikan kredit ke Direktur Utama PT HSK Andi Winarto, dalam memberikan fasilitas pembiayaan sebesar Rp 548 miliar. Dana itu sendiri digunakan PT HSK untuk membangun 161 ruko di Garut Super Blok. Penyaluran kredit itu sendiri belakangan diketahui dilakukan tanpa agunan.
Dalam perjalanan kasus, Andi Winarto juga ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan Direktur Utama BJB Syariah Ali Nuridin. Andi oleh pengadilan dijatuhi vonis pidana penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsidiair 6 bulan kurungan. Sementara Ali Nuridin divonis penjara selama 5 tahun dan denda Rp500 juta subsidiair 6 bulan kurungan.
Andita Rahma, Yudono Yanuar, Annisa Febiola, dan Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.