TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggugat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat ingin agar menteri dilarang rangkap jabatan pengurus partai politik.
Permohonan uji materi itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 6 Maret 2025. Adapun perkara diregistrasi pada Selasa,18 Maret 2025, dengan Nomor Perkara Nomor 35/PUU-XXIII/2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permohonan ini diajukan oleh empat mahasiswa FHUI, yakni Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah, dan Vito Jordan Ompusunggu. Tim kuasa hukum mereka adalah Abu Rizal Biladina, Hafsha Hafizha Rahma, dan Jhonas Nikson. Ketiganya juga merupakan mahasiswa aktif FHUI.
Permohonan ini secara spesifik menguji Pasal 23 huruf c Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Rizal mengatakan gugatan terhadap Pasal 23 huruf c beleid tersebut dilakukan karena dianggap melanggar hak konstitusional pemohon dengan banyaknya menteri yang merangkap pengurus partai politik.
“Kami melihat kondisi status quo yang sekarang sudah tidak ada checks and balances. Sehingga perlu diperbaiki dari struktur hukum tata negara kita dimulai dari menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus parpol,” kata Riza saat dihubungi Tempo, Selasa, 18 Maret 2025.
Pasal 23 huruf c beleid tersebut menegaskan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Rizal mengatakan pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, ada tumpang tindih dengan norma Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 208 tentang Partai Politik. Pasal ini menyebutkan bahwa keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN atau APBD.
Selain itu, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik juga menegaskan bahwa bantuan keuangan kepada partai politik dari APBN atau APBD diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah setiap tahunnya.
“Meskipun Pasal 23 huruf c Undang-Undang Kementerian Negara menggunakan kata dibiayai dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik menggunakan frasa bantuan keuangan. Kedua istilah tersebut secara substansial pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama,” bunyi posita dalam berkas gugatan pemohon yang dilihat Tempo.
Pertimbangan lain pemohon menggugat Pasal 23 huruf c Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara adalah beleid ini melemahkan fungsi pengawasan DPR dan mengacaukan checks and balances.
Checks and balances adalah prinsip menyetarakan kedudukan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Sehingga checks and balances memberikan sedikit wewenang bagi ketiga kekuasaan agar saling mengontrol satu sama lain.
Pemohon mengatakan dominasi eksekutif terhadap legislatif dipengaruhi pula oleh koalisi besar yang dibentuk presiden selaku pimpinan eksekutif. Indonesia adalah penganut sistem multipartai sehingga untuk menghindari presiden minoritas, pilihan presiden adalah mendistribusikan jabatan menteri bagi parpol untuk mengumpulkan dukungan dari legislatif.
Dengan demikian situasi gridlock akan dapat diatasi dengan adanya koalisi yang meningkatkan posisi tawar presiden di legislatif. Walhasil, Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto memiliki koalisi gemuk dengan 36 menteri yang merangkap jabatan menjadi pengurus parpol.
Di sisi lain, kekuasaan legislatif dikuasai oleh partai politik. Dengan demikian, kata pemohon, dalam gugatannya, kader parpol atau bawahan para pengurus parpol dalam kabinet bisa saja menjabat sebagai anggota DPR.
Pemohon mengatakan partai politik bersifat hierarkis sehingga pengurus parpol yang menjabat sebagai menteri di dalam kabinet akan menimbulkan relasi kuasa antara DPR dan menteri yang memiliki jabatan pengurus parpol.
“Dengan kata lain, anggota DPR selaku kekuasaan legislatif akan kesulitan melakukan fungsi legislasi anggaran dan pengawasan sebagai bentuk checks and balances,” tutur pemohon.
Rizal mengatakan gugatan ini tidak ne bis in idem atau tidak boleh diadili lebih dari satu kali karena sudah pernah diajukan. Gugatan terhadap Undang-Undang Kementerian pernah diajukan anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lily Wahid pada 2009 dengan Nomor Perkara 151/PUU-VII/2009.
Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Lily. Lily dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat 2 UU MK, yang intinya menyatakan bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas kerugian konstitusional akibat berlakunya UU tersebut.
Mahkamah berpandangan bahwa tidak ditemukan adanya diskriminasi terhadap Lily Wahid ketika proses UU tersebut dibentuk dan diberlakukan. Selain itu, sebagai anggota DPR, Lily Wahid memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 20 A dan Pasal 21 UUD 1945 yang tidak dimiliki oleh warga negara lainnya.
Hak-hak setiap anggota DPR yang dijamin konstitusi adalah hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, dan hak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Rizal mengatakan legal standing pemohon berbeda dengan Lily yang berstatus sebagai anggota DPR RI. Sedangkan pemohon adalah mahasiswa aktif dan voters pemilu 2024. Sehingga permohonan ini tidak ne bis in idem.
“Kewenangan konstitusional ditolak karena pada saat itu beliau menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB,” katanya.
Rizal mengatakan, petitum dari gugatan ini memohon kepada hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus fungsionaris partai politik.