TEMPO.CO, Jakarta - Proses penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di area Pagar Laut Tangerang diduga janggal dalam berbagai tahapannya. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Masyarakat Ahli Survey Kadaster Indonesia (MASKI), Loedi Ratrianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASKI merupakan asosiasi profesi yang beranggotakan Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB) dan Surveyor Berlisensi seluruh Indonesia. Para anggotanya bertugas mengukur dan memetakan bidang tanah berdasarkan surat tugas dari Kepala Kantor Pertanahan di tingkat kabupaten/kota (Kantah). Hasil pengukuran lalu diverifikasi dan diterbitkan sertifikat oleh Kantah BPN Kabupaten/kota.
Loedi menilai ada indikasi ketidakcermatan dalam menentukan status tanah di kawasan tersebut. "Apakah itu nanti terbukti oleh Pak Menteri dicabut itu berarti ketidakcermatan juga," ujar Loedi saat diwawancarai Tempo pada Sabtu, 1 Februari 2025.
Setidaknya ada dua indikasi ketidakcermatan KJSB dalam proses penerbitan HGB ini, yakni tidak tahu atau tidak terinformasi mengenai legalitas surat asli atau palsu, dan menyatakan wilayah itu merupakan daratan atau tambak yang tergenang air.
Dia menjelaskan KJSB tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan dokumen seperti girik atau KTP, karena kapasitasnya bukan. Namun, mereka bisa menolak pengukuran jika ada kejanggalan. Sebab pada dasarnya, kantor jasa itu tidak hanya punya kemampuan melakukan pengukuran secara teknis, tetapi juga harus mengetahui administrasi pertanahannya.
"Apakah betul yang mereka ukur adalah tanah daratan? Apakah betul ini ternyata tanah lautan?" tanya dia menirukan peran KJSB. “Jadi kalau tanah laut, mestinya dia tidak melakukan pengukuran, tapi mungkin KJSB ini punya keyakinan atas dasar surat-surat itu yang menyatakan bahwa dulunya ini tanah tambak. Oleh sebab itu dia melakukan pengukuran,” ujar dia.
Kemudian, seharusnya informasi tersebut dituliskan di gambar ukur (GU) bahwa tanah tersebut sudah tergenang air atau dengan alasan abrasi dan sebagainya. Harusnya, lanjut Loedi, ada data-data itu untuk memberikan masukan kepada nantinya Panitia A, yang bertugas memberikan informasi kepada BPN, apakah wilayah tersebut layak untuk diberikan hak atau tidak.
"Kalau ada tanah yang sudah jelas tergenang air laut, harusnya sejak awal KJSB bisa menolak pengukuran. Mereka punya tanggung jawab moral untuk mempertanyakan keabsahan permohonan tersebut," ujar dia.
Selain itu, ada kemungkinan dokumen yang diajukan pemohon menggambarkan lahan tersebut sebagai daratan, meskipun kenyataannya sudah berubah menjadi perairan. Padahal, menurut regulasi, tanah yang telah menjadi perairan tidak bisa disertifikasi. Terlebih wilayah tersebut memang sejak dulu merupakan laut. "Mestinya kalau orang biasa mengukur, itu palsu harusnya sudah punya feeling sehingga dia menolak," kata dia.
Berdasarkan hasil penyelidikan, tanah yang diklaim sebagai daratan ternyata merupakan laut sejak lama. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana dokumen pendukung seperti girik bisa diterima dalam proses sertifikasi tanah tersebut. “Kalau daratan tergenang laut itu boleh diproses karena dulunya tambak, tapi fakta yang kemarin disampaikan oleh Pak Menteri, itu bukan daratan kan?” kata Loedi.
Dia menegaskan bahwa KJSB sebenarnya memiliki kewenangan untuk menolak permohonan jika ditemukan indikasi ketidaksesuaian dokumen. Keputusan tersebut sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Teknis Nomor 9/Juknis-PU.04.01/XI/2023 tentang pelayanan langsung kepada masyarakat oleh kantor jasa survery berlisensi yang diterbitkan oleh kementerian ATR/BPN.
Kasus pagar laut sepanjang 30,16 km di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang telah masuk dalam penyelidikan aparat penegak hukum, di antaranya Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung. Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menduga pengajuan sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) pada area pagar laut di Tangerang menggunakan girik palsu.
“Dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan atau menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Jakarta pada Jumat, 31 Januari 2025.
Dia menyebutkan pihaknya telah meminta keterangan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang sebagai salah satu upaya dalam tahap penyelidikan kasus ini. Pihaknya mendapatkan informasi area pagar laut di Tangerang sudah memiliki sertifikat HGB dan SHM dengan rincian 234 bidang HGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, 9 bidang atas nama perseorangan, serta 17 bidang SHM yang berasal dari girik.