Memaafkan di Hari Raya Idul Fitri, Seluk-beluk Psikologi di Balik Tradisi Lebaran

1 day ago 17

TEMPO.CO, Jakarta - Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran identik dengan tradisi mudik, silaturahmi, serta yang paling penting—tradisi saling bermaafan.

Sejak gema takbir berkumandang, umat Islam dianjurkan untuk kembali ke fitrah, termasuk dengan menghapuskan segala kesalahan dan dendam di masa lalu.

Tradisi Memaafkan di Idul Fitri

Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada, memaafkan dalam konteks Idul Fitri bukan sekadar tradisi keagamaan, tetapi juga bagian dari nilai sosial yang melekat kuat dalam budaya masyarakat.

Konsep fitrah yang dalam Islam diartikan sebagai keadaan suci sejak lahir, menjadi dasar utama dari tradisi ini. Namun menariknya, penelitian menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu memaafkan dan meminta maaf secara sungguh-sungguh dalam praktiknya.

slot-iklan-300x600

Dalam beberapa studi psikologi, ditemukan bahwa hanya segelintir orang yang benar-benar memaafkan dengan tulus. Sebagian lainnya hanya menjalankan tradisi ini sebagai bentuk formalitas atau praktik keagamaan, sementara sebagian lainnya memilih untuk melupakan kesalahan yang terjadi tanpa benar-benar memaafkan (forgiving versus forgetting). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk masih adanya kemarahan yang terpendam, trauma, atau dampak buruk dari pengalaman tersebut.

Psikologi di Balik Konsep Memaafkan

Masih dilansir dari sumber yang sama, konsep maaf (forgiveness) dalam psikologi pertama kali diperkenalkan oleh Enright, Santos, dan Al-Mabuk pada 1989. Mereka mendefinisikan memaafkan sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan aspek afeksi, kognitif, perilaku, dan interpersonal. Secara psikologis, memaafkan tidak hanya berarti menghapus kesalahan seseorang, tetapi juga melibatkan kemampuan individu untuk mengesampingkan perasaan negatif dan menggantinya dengan belas kasih serta penerimaan.

Worthington (2003) kemudian mengembangkan teori yang membagi konsep memaafkan menjadi dua tipe utama:
- Decisional forgiveness: Keputusan sadar seseorang untuk bersikap baik terhadap orang yang pernah menyakitinya, tanpa harus mengubah perasaan yang ada di dalam dirinya.
- Emotional forgiveness: Proses pemaafan yang terjadi ketika seseorang benar-benar melepaskan emosi negatif dan tidak lagi merasakan dendam atau sakit hati terhadap pelaku.

Studi menunjukkan bahwa emotional forgiveness lebih efektif dalam mengurangi beban emosional dan meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam jangka panjang. Sementara decisional forgiveness dapat memberikan ketenangan lebih cepat, tetapi sering kali tidak menyelesaikan perasaan negatif sepenuhnya.

Memaafkan dan Kaitannya dengan Kesehatan Mental dan Fisik

Dilansir dari Antara, psikolog Meriyati mengungkapkan bahwa memaafkan bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik. Ketika seseorang menyimpan amarah atau dendam, tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol, yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, gangguan kecemasan, bahkan depresi.

Beberapa penelitian lain juga mengungkapkan bahwa individu yang mampu memaafkan cenderung memiliki:
- Respons stres yang lebih rendah—dengan tekanan darah dan detak jantung yang lebih stabil.
- Kesehatan jantung yang lebih baik—karena stres yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
- Hubungan sosial yang lebih harmonis—karena tidak adanya perasaan negatif yang tertahan dalam interaksi sosial.

Langkah-langkah Memaafkan dengan Tulus

Menurut para psikolog, memaafkan bukanlah proses instan tetapi dapat dilatih dengan langkah-langkah berikut:

1. Mengakui dan menerima emosi 
Jangan menyangkal perasaan marah atau kecewa. Mengakui emosi adalah langkah pertama untuk bisa benar-benar melepaskannya.

2. Menjaga perspektif positif
Sadarilah bahwa memaafkan adalah untuk kebaikan diri sendiri, bukan untuk membebaskan orang lain dari tanggung jawab.

3. Mencoba memahami alasan di balik tindakan orang lain
Ini bukan berarti membenarkan kesalahan mereka, tetapi membantu kita melihat situasi dari sudut pandang yang lebih luas.

4. Melatih empati
Coba bayangkan bagaimana jika kita berada di posisi orang tersebut, apakah kita juga mungkin melakukan kesalahan yang sama?

5. Mengekspresikan perasaan dengan cara yang sehat
Bisa dengan menulis jurnal, berbicara dengan orang yang dipercaya, atau melakukan meditasi.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |