Mengapa Kebijakan Pendidikan Dedi Mulyadi Tuai Gelombang Protes?

1 day ago 12

Jakarta, CNN Indonesia --

Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di sektor pendidikan kini mulai menuai penolakan. Kajian yang dangkal tanpa partisipasi publik disebut menjadi faktor yang melatarbelakangi.

Pada Senin, 21 Juli 2025, Solidaritas Pekerja Pariwisata Jawa Barat menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, untuk menuntut pencabutan larangan karyawisata atau study tour.

Larangan yang termuat dalam Surat Edaran (SE) Penjabat Gubernur Jabar Nomor 64 Tahun 2024 itu diklaim membuat pendapatan perusahaan wisata anjlok hingga 60 persen.

Selain itu, larangan study tour ini tidak diindahkan oleh Wali Kota Bandung Muhammad Farhan yang masih memperbolehkan dengan syarat tidak mempengaruhi nilai akademik siswa.

Kebijakan lain yang mendapat penolakan adalah terkait dengan jam masuk sekolah. Pemerintah Kota Bekasi mengabaikan kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB sebagaimana diteken Dedi lewat Surat Edaran Nomor 58/PK.03/DISDIK, tertanggal 28 Mei 2025.

Wali Kota Bekasi Tri Adhianto mengaku menerima banyak keluhan dari orang tua siswa yang kesulitan mempersiapkan anak di pagi hari. Belum lagi soal dampak kemacetan.

Dia menyebut sekolah-sekolah yang berada di jalur utama seperti SMPN 1, 2, dan 3 mengalami kemacetan cukup parah saat jam masuk dimajukan.

Aturan pembatasan jam malam bagi pelajar yang dikeluarkan Dedi melalui SE Nomor 51/PA.03/Disdik pada 23 Mei 2025 juga mendapat pertentangan.

Dalam SE dimaksud, pelajar dilarang melakukan aktivitas di luar rumah mulai pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, kecuali dalam kondisi darurat, bersama orang tua/wali, atau mengikuti kegiatan yang diketahui wali.

Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Jawa Barat menyampaikan keberatan terhadap aturan tersebut. Ketua Fortusis Jabar Dwi Subianto menilai kebijakan jam malam tidak mempertimbangkan tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak.

Menurut dia, tidak semua pelajar yang keluar malam melakukan kegiatan negatif. Banyak dari mereka dinilai justru mendapat inspirasi dari aktivitas malam hari.

Lantas, mengapa Dedi di awal kepemimpinannya sebagai Gubernur Jabar sangat konsen dengan sektor pendidikan? Apa tujuan yang hendak dicapai olehnya?

Mindset popularitas

Pengamat Politik Pemerintahan Universitas Pamulang Cusdiawan mengatakan Dedi menaruh fokus terhadap dunia pendidikan karena isu tersebut strategis: melibatkan banyak pihak sehingga dapat mendulang popularitas.

"Fokus KDM pada pendidikan bisa jadi karena dianggap sebagai salah satu strategi yang efektif untuk menarik perhatian masyarakat," ujar Cusdiawan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/7).

Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika kebijakan-kebijakan tersebut tidak mendasarkan pada kajian yang mendalam. Cusdiawan mengambil contoh pelibatan militer dalam pembinaan "anak-anak nakal".

Alumnus Universitas Padjadjaran (UNPAD) ini melihat dua alasan mengapa Dedi melibatkan militer dalam kebijakannya di sektor pendidikan.

Pertama, selama ini di memori kolektif masyarakat, militer diidentikkan sebagai institusi yang disiplin, rapi dan lain sebagainya, sehingga kebijakan yang tidak biasa tersebut (disebut Gebrakan KDM) masih menjadi bagian upaya Dedi untuk membangun citra positif tentang dirinya dan dianggap sebagai strategi politik efektif karena berkaitan dengan bagaimana kesan masyarakat terhadap militer.

Ditambah ada masalah klasik dalam masyarakat semisal menyoal kenakalan remaja yang meresahkan masyarakat.

Simbolisasi militer, tak bisa kritis

Poin kedua, menurut Cusdiawan, bisa juga hal tersebut terjadi karena upaya Dedi untuk lebih menarik perhatian elite politik, dalam hal ini Presiden Prabowo yang mempunyai latar belakang militer. Di era kepemimpinan Prabowo ini masyarakat menjadi tahu simbolisasi militer tampak menguat.

"Jadi, KDM seolah ingin menunjukkan bahwa yang ia lakukan 'satu garis' dengan yang dicanangkan oleh pak Prabowo," imbuhnya.

"Namun, yang menjadi masalah, kita harus paham bahwa disiplin ala militer dengan sipil adalah hal yang berbeda. Sebagai contoh, disiplin ala militer harus tunduk pada satu komando, sementara disiplin ala sipil harus didasarkan pada sikap yang kritis. Dari contoh ini saja kita harus paham bahwa civic values dan military values adalah hal berbeda," sambung dia.

Cusdiawan yang merupakan Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP) ini berpendapat masalah mendasar dari berbagai terobosan Dedi menyoal pendidikan adalah tidak didasarkan pada kebijakan berbasis sains (science based policy).

Akibatnya, masalah yang dilihat kurang proporsional sehingga sangat wajar bila menuai kontroversi publik yang tajam dan belakangan menimbulkan protes atau penolakan.

"Semisal soal jam masuk sekolah, larangan study tour dan sebagainya, yang menurut hemat saya terlepas dari setuju atau tidaknya kita, tetapi ada hal-hal yang semestinya perlu diantisipasi juga dan dipikirkan secara matang lagi," ungkap Cusdiawan.

"Misalnya, apakah jam masuk sekolah yang lebih pagi selaras dengan peningkatan prestasi siswa? Bagaimana dari sisi orang tua murid? Kemudian soal study tour, lalu bagaimana cara pemerintah untuk mengantisipasi agar jasa yang berkaitan dengan pariwisata tidak mengalami penurunan?" tandasnya.

Lanjut ke halaman berikutnya...


Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |