Menyambangi Masjid Sultan Singapura yang Berusia 200 Tahun

5 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Masjid Sultan Singapura di Jalan Muscat, Kampong Gelam, menjadi salah satu pusat ibadah muslim di Negeri Singa. Masjid yang berusia lebih dari 200 tahun itu juga menjadi tempat pelaksanaan salat Tarawih warga Muslim lokal dan wisata religi bagi turis yang datang ke Singapura.

Dengan kubah emas, masjid kuno ini cukup luas dengan daya tampung hingga dua ribu jamaah. Atapnya yang tinggi bercat putih, ditopang belasan tiang dan jendela dengan lubang angin, membuat sirkulasi udara berjalan baik. Lantai beralaskan karpet merah bermotif bunga, kipas angin yang besar dan pengatur suhu memberikan kenyamanan bagi jamaah menjalankan salat. Area salat terdiri dari dua lantai, bagian bawah diperuntukkan jamaah laki-laki dan bagian atas untuk jamaah perempuan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Interior masjid didominasi dengan warna hijau berhias ukiran dan tulisan Arab berwarna emas di dekat mimbar dan ruang imam. Beberapa set lampu gantung mempercantik ruangan. Pengeras suara dan layar menempel di sejumlah tiangnya. 

Rutinitas Ramadan di Masjid Sultan

Danial, salah satu volunteer di Masjid Sultan mengatakan bahwa masjid ini menyelenggarakan salat tarawih 20 rakaat setiap malam selama Ramadan. “Kami ikut yang 20 rakaat dan witir, dimulai dengan salat Isya,” ujar Danial kepada Tempo, pada 22 Februari 2025. 

Dia telah menjadi volunteer di masjid ini selama bertahun-tahun. Ia menjelaskan, rutinitas Ramadan di masjid ini tak terlalu berbeda dengan Ramadan sebelumnya. Sejumlah aktivitas seperti pengajian di siang hari dan tadarus pada sore hari menjelang Asar, beda dengan di Indonesia yang kebanyakan tadarusan berlangsung usai Tarawih. 

Menurut Danial, hal itu karena waktu selesai salat Tarawih sudah cukup malam. Lagi pula dalam salat Tarawih, imam membacakan surat Al-Quran cukup panjang. “Biasanya satu juz tiap malam dalam 20 rakaat tarawih,” ujar Danial. 

Aktivitas lain di bulan ini adalah untuk anak-anak. Dari laman media sosial Masjid Sultan, digelar pula aktivitas cerita interaktif kisah-kisah dalam Al-Quran dan belajar mengaji. Pada tiap Jumat dan Sabtu mulai pukul 20.15-10.15 waktu setempat, dibuka kelas untuk pengasuhan anak-anak usia 3-7 tahun. Sementara para orang tua fokus untuk salat Tarawih, mereka bisa menitipkan putra-putri mereka.

Pengelola masjid juga mengadakan pembagian bubur dan buka puasa dan pembayaran zakat selama Ramadan yang dimulai pada 2-29 Maret 2025. Pembayaran zakat dilaksanakan di lobi Annex Building pada hari kerja mulai pukul 10.00-18.00 waktu setempat dan pukul 10.00-17.00 untuk akhir pekan. 

Untuk berbuka puasa, para pengunjung Muslim, bisa melakukan di luar masjid. Apalagi saat ini juga sedang digelar festival dan bazar yang bertajuk Gemilang Kampong Gelam. Bazar yang diikuti 120-an tenant ini menyediakan beragam makanan dan minuman di sekitaran Masjid Sultan. Salat Magrib berjamaah akan dilaksanakan sekitar 20-an menit setelah berbuka puasa. 

Beberapa wisatawan di Masjid Sultan Singapura, 22 februari 2025. TEMPO/Dian Yuliastuti

Kunjungan Wisata ke Masjid

Saat Tempo berkunjung ke Masjid Sultan sebelum Ramadan mulai, banyak wisatawan yang datang ke masjid. Setelah melepas alas kaki, para pengunjung bisa masuk hanya sebatas ke teras dalam masjid. Tetapi sebelumnya, bagi pengunjung yang berpakaian agak pendek diwajibkan mengenakan sarung atau rok panjang. Mereka bisa bebas berfoto dan menanyakan segala sesuatu tentang masjid dan Islam. 

Menurut Danial, jumlah pengunjung per harinya bisa mencapai 500-600 orang, sementara pada akhir pekan bisa mencapai 750-an orang. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Eropa. Danial juga mengatakan banyak dari mereka menanyakan tentang perbedaan aliran Syiah-Sunni dan tentang aliran yang diikuti masjid ini.

Wisawatan dari Jepang, Korea, dan sebagian Eropa punya ketertarikan lebih untuk mengetahui tentang Islam, seperti Maria dan Haruka dua wisatawan asal Jepang. Mereka datang mengunjungi masjid ini karena tertarik dengan sejarah masjid dan ajaran Islam. Mereka mengetahui tentang Islam dari kawan mereka dan sejumlah bacaan. Ketika datang ke Singapura mereka menanyakan hal ini kepada Najwa, salah satu volunteer yang baru tiga pekan bertugas. 

“Kami melihat Islam bukan saja sebagai agama, tapi sebagai jalan hidup yang menarik, ajarannya dan caranya mengajarkannya,” ujar Maria dan Haruka. Mereka dua pekerja yang tinggal di Fukuoka, Jepang.

Najwa, yang juga berkebangsaan Jepang, menerangkan papan berisi tulisan Arab dan artinya dalam Bahasa Inggris di dekat pintu. Tulisan itu tentang bacaan azan dan Al-Quran Surat Al-Fatihah. Maria dan Haruka tampak senang dan kagum dengan penjelasan Najwa.
Najwa, yang sudah menganut Islam cukup lama, pun mengatakan senang bisa menjadi volunteer. “Kesempatan ini untuk meningkatkan keimanan saya, baru sekarang bisa ikut,” ujarnya. 

Sejarah Masjid Sultan

Dari laman visitsingapore.com, diterangkan masjid ini dibangun pada 1824 untuk Sultan Hussein Shah, sultan pertama di Singapura. Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura, memberikan $3.000 untuk konstruksi gedung satu lantai dengan atap dua lapis.

Seabad kemudian, masjid ini direnovasi. Masjid yang sekarang ini didesain oleh Denis Santry dari Swan and Maclaren, sebuah firma arsitektur tertua di Singapura. Masjid ini dibangun kembali pada 1932. Pada masa rekonstruksi North Bridge Road dibelokkan mengitari masjid dan diperpanjang hingga Arab Street.

Kubah masjid ini bebentuk seperti bawang. Setiap umat baik yang kaya maupun yang miskin bisa berkontribusi saat pembangunannya. Setiap dasar kubah dihiasi dengan ujung botol kaca yang disumbangkan oleh umat Muslim yang kurang mampu di masa pembangunannya.

Masjid ini juga disahkan menjadi monument nasional pada 1975 dan menjadi salah satu titik utama masyarakat Muslim di Singapura. Saat ini tak kurang 69 masjid berdiri di Singapura sebagai pusat-pusat ibadah umat Muslim di sana. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |