
Dr Abidinsyah Siregar,DHSM, MBA, MKes
Ketua Umum BPP Observasi Kesehatan Indonesia (OBKESINDO)/ Indonesia Health Observer (IHO)
Pada September 2025 ini, ada meme “6.452 Anak Jadi Korban #Stop MBG”.Tentu meme ini dibaca sebagai sinyal kewaspadaan, walaupun terkesan berlebihan.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Bayangkan jika dibandingkan akibat asap rokok, kini Indonesia menjadi negara dengan kasus Penyakit Tuberkulosa (TB) terbesar kedua di dunia dibawah India dan di atas Cina yang penduduknya masing-masing diatas 1,4 miliar jiwa. Dengan kematian mencapai 134 ribu orang pertahun. Atau dibandingkan dengan kasus terinfeksi HIV/AIDS di tahun 2023 sebanyak 17.121 orang.
Lebih masuk di akal sehat jika ada kampanye #Stop Merokok Diarea Umum atau #Stop Aktivitas Beresiko HIV/AIDS.
Kesehatan Indonesia sedang dalam anomali kontradiktif dan inkonsistensi, bukan transformasi, yang masih sangat jauh. Prevalensi berbagai penyakit menakutkan dan mematikan tidak seimbang dengan kampanye hidup sehat yang semakin sayup dibanding kuratif.
Makan Bergizi Gratis atau MBG dengan sasaran 89,2 juta penerima manfaat sungguh intervensi efektif dengan multiplier efek yang luas dan mendasar.
Beres dalam urusan makan bergizi, jelas akan mengubah wajah dan wujud sumberdaya manusia Indonesia ke depannya, Diikuti dengan penurunan angka kesakitan, peningkatan angka kecerdasan dan penurunan penyimpangan sosial.
Indeks Pertumbuhan Manusia Indonesia yang masih rendah, baik di bidang pendidikan, pemerataan ekonomi, dan kesehatan, menunjukkan adanya keterkaitan dan ketergantungan satusama lain yang kuncinya pada keterbatasan dalam ketersediaan pangan dihampir seluruh wilayah Indonesia.
Gagasan MBG adalah inisiatif strategis dan mendasar untuk menjawab perbaikan Indeks Pertumbuhan Manusia (Human Development Index) Indonesia, yang bahkan dimulai dengan penurunan angka stunting (yang macet karena kegagalan intervensi pangan dan edukasi), peningkatan kesehatan ibu hamil dan ibu menyusui yang banyak mengalami anemia berat karena kekurangan gizi. Perbaikan dihulu, jelas akan menjamin pertumbuhan fisik janin dan anak berlangsung baik disamping perkembangan kognitif atau kecerdasan.
Keracunan Makanan MBG
Pada Sidang Kabinet 5 Mei 2025, Presiden telah menerima laporan pencapaian sasaran penerima manfaat MBG 3,4 juta orang dengan 1.286 penyedia/dapur pangan. Dengan harapan di akhir Agustus mencapai 20 juta sasaran penerima manfaat dan pada akhir November tahun 2025 mencapai 82,9 juta penerima manfaat.
Namun Presiden menekankan bahwa skala dan kompleksitas logistik program ini sangat besar, sekalipun tingkat keberhasilan mencapai angka 99 persen.
Program sudah berjalan sejak Januari 2025, dan di bulan September dengan sasaran sudah menjangkau 20 juta orang. Pada Januari tahun 2025 saat program MBG masih menjangkau 2 juta sasaran sudah dilaporkan keracunan pada 50 siswa SDN Dukuh 03 Sukohardjo. Di bulan Februari terjadi keracunan pada 28 siswa SDN 2 Alaswangi Pandeglang, Hingga kini, September diperhitungkan terdapat 6.000 anak mengalami keracunan MBG dari sekitar 20 juta penerima manfaat.
Dalam keterangan pers Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang mengakui insiden keracunan MBG bukan sabotase, melainkan kelalaian internal, dari dapur yang masak malam hingga pengawasan yang abai. Tentu masih banyak pendapat lain,
Banyak diberitakan, anak-anak muntah di kelas, guru panik tanpa pelatihan, dan ibu-ibu yang memilih diam karena takut dianggap tak bersyukur. Kelalaian itu bukan sekadar teknis, tapi menyentuh tubuh, waktu, dan kepercayaan warga yang paling rentan.
Stop MBG atau Lanjut
Permintaan sebahagian sumber yang minta Stop MBG, terlalu dini dan sebagian mengatakan berbau politis.
Disini moral bangsa digugat, mau sampai kapan lagi dimulai terobosan berani. Terobosan mana akan mendorong perubahan ekosistem pangan dan kemajuan sumberdaya manusia Indonesia.
Kualitas manusia Indonesia hanya akan bergerak merangkak, tanpa terobosan berani. Kita tidak mungkin hidup sehat, dengan bergantung pada impor beras. Dengan angka konsumsi makan ikan paling rendah di Asia, sementara Indonesia punya lautan paling luas dan ikan terbanyak di dunia, yang kaya aneka ikan sebagai sumber protein yang merupakan modal awal menumbuhkan kecerdasan setiap anak bangsa. Begitu pula dalam konsumsi daging, yang hanya 0,45 kg per orang per tahun, yang menurun dari tahun 2023 yaitu 0,5 kg. Angka ini jauh dari rata-rata konsumsi daging dunia yang mencapai 6,4 kg/orang/tahun.
Semua ini menunjukkan kita dalam kerawanan pangan. Dan itu bermakna sebgian terbesar penduduk negeri ini dalam kondisi kurang gizi dan nutrisi yang seimbang. Dan itu bermakna rakyat Indonesia umumnya dalam ancaman rendah kualitas kesehatan dan rendah kualitas pendidikannya.
Tidak mengherankan, ketika Menteri Kesehatan RI mengumumkan pencapaian penurunan angka stunting tahun 2023 hanya turun 0,1% dari 25,6 % menjadi 25,5 % di awal tahun 2024. Sementara target Pemerintah menurunkan menjadi 14% pada akhir tahun 2024. Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah ketiadaan sumber pangan adekuat dan bergizi.
Program MBG, saat ini sudah menyajikan 20 juta porsi perhari. Sebulan dengan 20 hari belajar menyajikan 400 juta porsi. Kegiatan sudah berjalan 10 bulan, artinya 4 miliar porsi. Dalam proses yang berjalan bertahap, ditemukan pengaduan atas kasus keracunan yang secara kumulatif sekitar 6.000 kasus yang terjadi di beberapa tempat dari sebagian dapur yang kapasitasnya mencapai 3.000an porsi.
Bisa dibayangkan saat jelang akhir tahun 2025, MBG harus mampu menyediakan 89.200.000 porsi perhari atau 1.784.000.000 porsi (1,7 miliar) sebulannya. Sejak Januari 2026 jika konsisten maka setahunnya perlu disiapkan 21,4 miliar porsi untuk anak Indonesia. Sungguh program luar biasa, dengan menu sehat, terhidang bersih dan bergizi.
Di dalam porsi makanan itu ada peluang untuk memutus rantai stunting (pada usia sekolah), pertumbuhan fisik yang baik, juga meningkatkan konsentrasi belajar dan menciptakan generasi cerdas.
Apa yang salah dengan program mulia dan nyata manfaatnya ini, mengapa harus dihentikan?.
Keberanian MBG
Adalah salah besar menganggap Program MBG berhenti hanya pada ketercukupan gizi. Atau karena ada sejumlah kasus keracunan, maka program dihentikan.
Program MBG memiliki multiplier effect atau efek pengganda. Penerima manfaat terbesar ada pada kesehatan yang nantinya berjumlah 89,2 juta orang. Mulai dari perbaikan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak, imunitas kesehatan, peningkatan energi, peningkatan kualitas otak, perbaikan berat badan, dan tentu peningkatan kualitas hidup.
Di luar kesehatan, pengeluaran besar Pemerintah dalam Program MBG tidak sia-sia. Belanja MBG akan meningkatkan pendapatan Masyarakat, meningkatkan konsumsi dan investasi dan tentu pertumbuhan ekonomi. Investasi akan mendorong pula produksi dari semua sumber material kebutuhan Program MBG, disamping lapangan kerja baru.
Dan lebih tinggi lagi, program MBG juga memiliki efek langsung terhadap kualitas Generasi Muda Indonesia, peningkatan angka keterdidikan, penurunan angka kesakitan dan peningkatan Indeks Pertumbuhan Manusia Indonesia.
Tampaknya, harus diakui bahwa keberanian Pemerintah Presiden Prabowo dalam program MBG, sesungguhnya masih berada dalam ekosistem yang kontradiktif. Dengan sasaran ambisius, dalam serba keterbatasan. Keterbatasan dalam ketersediaan pangan, ketersediaan air bersih, ketersediaan alat dan tehnologi, keterbatasan infrastruktur yang layak dan aman, keterbatasan tenaga pengelola, juga keterbatasan dalam pengawasan.
Semua “dipaksakan”, dimulai dari sekarang, sejak awal pemerintahan. Memang tidak ada yang perlu ditunggu, waktu untuk mencapai cita-cita Indonesia era emas di tahun 2045 semakin dekat, sementara tantangan utama pada sumberdaya manusia paling mendesak, karena masa depan Indonesia sangat bergantung pada kualitas manusianya.
Disisi lain MBG juga akan “memaksa” berbagai usaha mikro, kecil dan menengah yang punya peran langsung maupun tidak langsung dalam rantai pasok kegiatan MBG.
MBG juga akan “memaksa” peningkatan capaian penurunan angka stunting, peningkatan angka keterdidikan anak usia sekolah, dan tentu peningkatan kualitas keluarga, memperkuat manfaat Bonus Demografi.
Adanya Pedoman MBG yang dirilis pada awal 2025 memberi panduan agar program mencapai sasaran tak hanya mengenyangkan tetapi juga menyehatkan dan meningkatkan kualitas bayi hingga anak usia sekolah.
Pedoman juga memuat prinsip menu lengkap dan gizi seimbang yang memenuhi 20-35% kebutuhan energi harian sesuai dengan usianya. Tentu di dalamnya sudah mencakup karbohidrat (yang diperoleh dari sumber beraneka seperti beras, ubi, jagung, mie), protein baik bersumber hewani dari ayam, ikan dan telur maupun bersumber nabati seperti tempe dan tahu, sayuran segar yang berhubungan dengan kebutuhan sang anak seperti bayam, wortel dll, dan buah-buahan lokal dilengkapi dengan sumber lemak sehat dari minyak nabati dan santan.
Disebutkan pula dalam Pedoman MBG, mutu paling diutamakan, aman dikonsumsi, diolah secara higienis, bersih dan diawasi ahli gizi setempat
Standar ini disusun terperinsi dan tersegmentasi, menyesuaikan kepada kebutuhan masing-masing keplompok sasaran, mulai dari siswa sekolah (sejak PAUD hingga SMA sederajat), balita, ibu hamil juga santri.
Jika program MBG sudah didukung pedoman yang disusun Kementerian Kesehatan dengan baik dan terinci, pertanyaannya “Mengapa masih ada penerima manfaat yang Keracunan?”
Rekomendasi Pemantapan Program
Dengan Pedoman MBG seharusnya sudah dapat menjamin penyediaan porsi makanan yang bersih, bergizi dan aman dari kontaminasi. Perkumpulan Observasi Kesehatan Indonesia (OBKESINDO), setidaknya melihat ada dua pusat perhatian untuk mensukseskan program MBG.
1. Optimalisasi manfaat program dengan melakukan edukasi kepada penyelenggara atau penerima manfaat, di sekolah, di pesantren, di masyarakat oleh petugas kesehatan pusk esmas dan penyuluh keluarga agar sasaran menghargai makanan dan memanfaatkan makanan secara maksimal, mengurangi sisa, mengenal pilihan menu dan hidangan sebagai representasi pilihan terbaik. menjaga kebersihan. mengumpulkan sisa dan dimanfaatkan kembali untuk ekosistem.
2. Pengawasan melekat atas mata rantai tatakelola SPPG, mulai input (penyiapan yang meliputi bahan dan proses masak) hingga output (yang meliputi masa hidang hingga kebersihan wadah dan uji petik) serta melakukan pemantauan saat berlangsung makan bersama. Seluruh unit fasilitas kesehatan terdekat dengan unit penerima MBG membuat SOP penanganan cepat efek keracunan makanan.
Untuk melakukan kedua poin rekomendasi, tentu seluruh sumberdaya suprastruktur Pemerintah berkolaborasi dan dikerahkan terdepan seperti jajaran kesehatan, jajaran kependudukan dan pembangunan keluarga, jajaran sosial dan Pemerintah Daerah, serta organisasi kemasyarakatan.(*)