TEMPO.CO, Jakarta - Kasus kematian Pandu Brata Syahputra Siregar (18 tahun) siswa SMA asal Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara semakin terang setelah ekshumasi jenazahnya pada 16 Maret 2025 mengungkap adanya tanda-tanda kekerasan. Tim kedokteran forensik memastikan bahwa korban mengalami penganiayaan sebelum meninggal.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Irjen (Purn) Arief Wicaksono Sudiotomo, mengatakan bahwa gelar perkara setelah ekshumasi mengungkap fakta baru. "Benar terjadi penganiayaan berupa pemukulan dengan tangan dan kaki yang dilakukan oleh Ipda Akhmad, Dimas, dan Yudi terhadap Pandu," ujarnya kepada Tempo saat dihubungi Selasa, 18 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan, gelar perkara internal yang berlangsung sore hari usai ekshumasi dihadiri Ditreskrimum Polda Sumut, Satreskrim Polres Asahan, Tim Kedokteran Forensik, Itwasda, dan Propam Polda Sumut. Penyidik, kata Arief, memastikan korban mengalami kekerasan fisik sebelum meninggal, berdasarkan pemeriksaan tambahan terhadap saksi dan bukti visum.
Pra-rekonstruksi sehari setelah ekshumasi mengungkap keterlibatan langsung Kanit Reskrim Polsek Simpang Empat Ipda Akhmad Efendi, serta dua Banpol, Dimas dan Yudi, dalam aksi penganiayaan. Selain tindak kekerasan, Ipda Akhmad juga terukti melepaskan lima kali tembakan peringatan ke udara. Awalnya, Ipda Akhmad membantah menembak, tapi penyelidikan membuktikan sebaliknya.
Arief mengungkap, Polda Sumut telah menetapkan ketiga orang tersebut sebagai tersangka setelah sebelumnya berupaya menutupi tindakan kekerasan. Setelah berita ini viral, Ipda Akhmad juga terbukti mengarahkan Dimas dan Yudi agar menyangkal keterlibatan mereka dalam penganiayaan dan tembakan peringatan.
"Ipda Akhmad sempat briefing Dimas dan Yudi untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta. Namun, hasil penyelidikan membuktikan mereka berusaha menutup-nutupi tindakan kekerasan yang terjadi di TKP," kata Arief. "Kami akan terus mengawal kasus ini agar berjalan transparan dan sesuai hukum yang berlaku," ujar Arief.
Kejadian bermula saat korban menonton balap lari di dekat PT Sintong pada Ahad malam, 9 Maret 2025. Polisi membubarkan acara itu, dan korban bersama teman-temannya melarikan diri. Menurut keterangan kerabatnya, korban jatuh saat berusaha kabur dan mengaku mendapat tendangan dua kali dari seorang anggota polisi. Polisi kemudian mengamankan PBS ke Polsek Simpang Empat.
Kemudian, polisi membawa korban ke Puskesmas Simpangempat. Luka di bagian pelipis mata diobati. Setelah itu diboyong ke Polsek Simpangempat, menjalani tes urine. Tes pertama hasilnya negatif, tes kedua hasilnya tidak jelas. Namun polisi menyatakan korban positif menggunakan narkoba.
Keluarga membantah korban menggunakan narkoba. Selama ini, korban dikenal sebagai sosok yang pendiam. Pria yatim piatu ini, suka olahraga. Dia bercita-cita menjadi tentara sehingga benar-benar menjaga fisik dan kesehatannya.
Sewaktu di Polsek Simpangempat, korban menghubungi keluarga minta dijemput. Tidak direspons, dia meminta temannya yang menjemputnya. Alasannya, sakit di bagian perut. Akhirnya pihak keluarga yang menjemput.
Kepada sepupu dan kakak kandungnya, korban kembali mengeluh sakit di bagian perutnya. Katanya karena ditabrak dan ditendang polisi. Korban dibawa ke rumah sakit, hasil pemindaian sinar X, ada bercak darah di bagian ulu hati dan lambung. Kondisinya memburuk, pada Senin sore, Pandu meninggal.
Mei Leandha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.