MANTAN raja Nepal, Gyanendra Shah, kembali dari Pokhara ke ibu kota Kathmandu setelah perjalanan ke tempat-tempat religious. Kedatangannya disambut sekitar 10.000 pendukung monarki. Pengamanan pada Minggu, 9 Maret 2025, ditingkatkan ketika para aktivis pro-monarki berkumpul di bandara untuk menyambutnya.
Segera setelah Gyanendra mendarat di Bandara Internasional Tribhuvan dari Pokhara dengan menggunakan helikopter Simrik Air, para loyalis nya, termasuk para pemimpin dan kader Partai Rastriya Prajatantra yang pro-monarki, mulai meneriakkan slogan-slogan yang mendukungnya, The Hindustan Times melaporkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerumunan massa membawa slogan-slogan seperti "Kami ingin Raja kami kembali," "Hapuskan sistem republik federal dan kembalikan monarki," dan "Raja dan negara lebih berharga daripada nyawa kami." Ratusan loyalis yang mengendarai sepeda motor sambil membawa foto Gyanendra dan bendera nasional menyambutnya di kedua sisi jalan di luar bandara.
Puluhan polisi anti huru-hara menjaga Museum Istana Narayanhity, istana raja terdahulu karena ada desas-desus bahwa Gyanendra akan memasuki istana tersebut bersama para pendukungnya. "Kosongkan istana kerajaan untuk raja. Kembalilah raja, selamatkanlah negeri ini. Hidup raja kami tercinta. Kami ingin monarki," teriak massa.
Tidak ada insiden yang terjadi ketika kerumunan orang yang mengikuti Gyanendra menuju Nirmal Niwas, kediaman pribadi mantan raja di pinggiran Kathmandu.
Ketika Gyandendra Naik Takhta
Raja Gyanendra lahir pada 1947 dan secara singkat dinyatakan sebagai raja selama dua bulan pada 1950-51 pada usia tiga tahun, sementara keluarga kerajaan lainnya diasingkan di India.
Menurut situs web keluarga kerajaan Nepal, Gyanendra adalah seorang pengusaha yang memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu lingkungan dan konservasi sebelum menjadi Raja. Ia pernah memiliki sebuah hotel di Kathmandu dan pabrik rokok.
Ia dinobatkan pada tahun 2001 setelah kakak laki-lakinya, Birendra Bir Bikram Shah, dan keluarganya terbunuh dalam sebuah pembunuhan massal yang memusnahkan sebagian besar keluarga kerajaan.
Raja Birendra, istrinya dan delapan anggota keluarga kerajaan lainnya ditembak mati dalam sebuah pembunuhan dalam keadaan mabuk oleh pewaris takhta, Putra Mahkota Dipendra, yang kemudian bunuh diri.
Amukan di istana kerajaan di Kathmandu dilaporkan disebabkan oleh ketidaksepakatan antara Dipendara dan keluarganya atas penolakan mereka untuk mengizinkannya menikahi wanita yang dicintainya.
Laporan resmi tentang kejadian di istana pada malam itu mendukung penjelasan tersebut. Namun, dugaan ketidakkonsistenan dalam temuannya membuat beberapa pengamat meragukannya, dan teori konspirasi pun tersebar luas.
Beberapa pihak mengatakan bahwa Gyanendra sendiri yang meninjau isi laporan tersebut sebelum dipublikasikan, sementara pihak lain mempertanyakan kemampuan Dipendra untuk melakukan pembantaian dengan menggunakan empat senjata api dalam keadaan mabuk.
Salah satu rumor yang beredar setelah kejadian tersebut, menyalahkan putra Raja Gyanendra, Putra Mahkota Paras, atas kematian tersebut. Paras, yang dikenal sebagai seorang peminum berat, berada di dalam ruangan pada saat pembantaian terjadi tetapi berhasil lolos dengan luka ringan.
Masa Berkuasa Gyandendra
Menurut Al Jazeera, ia memerintah sebagai kepala negara konstitusional tanpa kekuasaan eksekutif atau politik hingga 2005, ketika ia mengambil alih kekuasaan absolut, dengan mengatakan bahwa ia bertindak untuk mengalahkan para pemberontak anti-monarki Maois. Raja membubarkan pemerintah dan parlemen, memenjarakan para politisi dan jurnalis serta memutus komunikasi, mengumumkan keadaan darurat dan menggunakan tentara untuk memerintah negara.
Langkah-langkah tersebut memicu protes besar di jalanan, memaksa Gyanendra pada 2006 untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah multipartai. Pemerintah tersebut menandatangani kesepakatan damai dengan Maoist, mengakhiri perang saudara selama satu dekade yang menyebabkan ribuan orang tewas.
Pada 2008, Gyanendra turun dari tahta setelah parlemen memilih untuk menghapuskan monarki Hindu Nepal yang telah berusia 240 tahun, dan mengubah negara ini menjadi sebuah republik sekuler.
Namun sejak saat itu, Nepal telah memiliki 13 pemerintahan, dan banyak orang di negara ini menjadi frustrasi dengan republik ini. Mereka mengatakan bahwa negara ini telah gagal mewujudkan stabilitas politik dan menyalahkannya atas ekonomi yang sulit dan korupsi yang meluas.
Ketidakpuasan Rakyat
Para peserta unjuk rasa mengatakan bahwa mereka berharap adanya perubahan dalam sistem politik untuk menghentikan kemerosotan negara ini. "Kami berada di sini untuk memberikan dukungan penuh kepada raja dan mendukungnya untuk mengembalikannya ke tahta kerajaan," ujar Thir Bahadur Bhandari, 72 tahun, kepada kantor berita AP, seperti dilansir Al Jazeera.
Di antara ribuan orang tersebut terdapat seorang tukang kayu berusia 50 tahun bernama Kulraj Shrestha, yang telah mengambil bagian dalam protes 2006 terhadap raja tetapi telah berubah pikiran dan sekarang mendukung monarki.
Ia menyesali keputusannya untuk berunjuk rasa pada saat itu. Ia ikut protes berharap bisa membantu negara tersebut keluar dari kungkungan monarki. “Ternyata saya salah dan negara ini semakin terpuruk sehingga saya berubah pikiran,” kata Shresta kepada AP. Menurutnya, hal yang terburuk terjadi adalah korupsi besar-besaran dan semua politisi yang berkuasa tidak melakukan apa pun untuk negara ini.
Gyanendra belum mengomentari seruan untuk kembalinya monarki. Meskipun dukungannya terus bertambah, Gyanendra memiliki peluang yang tipis untuk kembali berkuasa.
Analis politik Lok Raj Baral mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa ia tidak melihat adanya kemungkinan untuk mengembalikan monarki karena institusi ini telah menjadi "sumber ketidakstabilan".
Menurutnya, bagi beberapa kelompok yang tidak puas, ketidakmampuan para politisi yang telah menjadi semakin egois adalah sebuah kemunduran. “Rasa frustrasi ini telah termanifestasi dalam pertemuan-pertemuan dan demonstrasi-demonstrasi seperti itu," katanya.