
GUNUNGKIDUL, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di balik keelokan pantai-pantai yang berjejer sepanjang pesisir selatan Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata tersimpan sisi gelap yang kerap dibisikkan dari mulut ke mulut, yakni istilah pulung gantung.
Masyarakat lokal percaya, pulung gantung adalah semacam cahaya gaib yang melayang di langit malam. Cahaya itu dipercaya sebagai pertanda akan adanya seseorang yang meninggal karena gantung diri. Hanya saja, cahaya tersebut tak kasat mata bagi sembarang orang, hanya “mereka yang memiliki kepekaan batin” yang mampu melihatnya.
Istilah pulung gantung memang identik dengan Gunungkidul. Sudah lama hidup di tengah masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi, terutama di wilayah perdesaan. Tak ada catatan pasti sejak kapan kepercayaan ini mengakar, tapi ia menjadi semacam penjelasan lokal atas kenyataan pahit yang berulang di wilayah itu, yakni banyaknya kasus bunuh diri.
Dalam kurun waktu 2020 hingga 2022 saja, tercatat ada puluhan kasus bunuh diri yang sebagian besar dilakukan dengan cara gantung diri. Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 29 kasus bunuh diri. Jumlah itu meningkat menjadi 38 kasus pada 2021, dan 37 di antaranya dilakukan dengan gantung diri. Sementara pada 2022, tercatat 30 kasus.
Antara Mitos dan Statistik
Pada tahun-tahun tertentu, Gunungkidul sempat menempati peringkat atas dalam hal jumlah kasus bunuh diri di Indonesia. Sebagian besar di antaranya dilakukan dengan cara gantung diri. Inilah yang memperkuat mitos tentang pulung gantung. Namun, benarkah cahaya gaib itu adalah penyebab utama?
Secara budaya, kepercayaan ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele. Ia tumbuh dari narasi lokal yang mencoba menjelaskan sesuatu yang tak dimengerti oleh logika. Tapi secara medis dan ilmiah, tidak ada bukti bahwa bunuh diri dipicu oleh kehadiran pulung atau energi gaib apa pun.
Menurut pendekatan psikologi dan psikiatri, bunuh diri biasanya disebabkan oleh depresi, tekanan hidup yang akut, gangguan mental, atau perasaan terasing dan tidak memiliki harapan. Gunungkidul sendiri, pada masa lalu, dikenal sebagai wilayah yang mengalami banyak tantangan sosial-ekonomi: kekeringan berkepanjangan, lahan tandus, kemiskinan struktural, serta keterbatasan akses layanan kesehatan mental.
Dalam situasi seperti itu, kepercayaan terhadap hal-hal gaib muncul sebagai bentuk coping mechanism — cara masyarakat menghadapi kenyataan pahit yang sulit mereka pahami secara rasional.
Antara Stigma dan Penanggulangan
Mitos pulung gantung, meski menjadi bagian dari warisan budaya lisan, juga berpotensi mengalihkan perhatian dari persoalan yang lebih mendasar. Ketika seseorang meninggal karena gantung diri, keluarga dan masyarakat kadang lebih fokus mencari “siapa yang melihat pulung” ketimbang mendalami kondisi psikologis si korban sebelum kejadian.
Efeknya bisa kontraproduktif. Masyarakat jadi takut pada pulung, tapi enggan mengakui bahwa keluarga atau tetangganya mengalami gangguan mental. Di sisi lain, kepercayaan ini juga secara tak langsung berfungsi sebagai sinyal bahaya: ketika seseorang terlihat murung dan menyendiri, warga jadi lebih waspada karena takut “ditandai” oleh pulung.
Upaya penanggulangan dari pemerintah dan lembaga sosial mulai berjalan beberapa tahun terakhir, meskipun belum masif. Pendekatan kesehatan jiwa, pendampingan sosial, hingga pelatihan keterampilan hidup menjadi bagian dari langkah-langkah yang mulai diperkenalkan di wilayah Gunungkidul.
Biangnya Masalah Ekonomi?
Di luar mitos yang berkembang tersebut, data yang dihimpun dari Pemkab Gunungkidul dan Kepolisian menunjukkan bahwa akar persoalan warga gantung diri lebih banyak berasal dari tekanan hidup yang sangat manusiawi.
Data dari Polres Gunungkidul dan Dinas Kesehatan setempat menunjukkan bahwa kelompok Lansia menjadi korban terbanyak. Dari hasil studi yang menggunakan data kepolisian, lebih dari 55 persen pelaku bunuh diri merupakan warga lanjut usia berusia di atas 60 tahun. Profesi petani mendominasi dengan persentase lebih dari 70 persen, dan hampir semua pelaku adalah laki-laki.
Secara geografis, Gunungkidul adalah wilayah pegunungan karst yang keras dan tandus di musim kemarau. Akses ekonomi masih terbatas di banyak titik. Sebagian besar warga menggantungkan hidup dari pertanian dan peternakan yang tidak selalu menjanjikan hasil tetap. Dalam situasi itu, tekanan ekonomi, kesepian, serta penyakit kronis menjadi kombinasi yang rentan memicu depresi.
Masyarakat setempat sering kali tidak menyadari gejala awal depresi pada kerabat atau tetangganya. Budaya yang menahan diri untuk tidak “merepotkan orang lain” turut memperparah kondisi tersebut. Beberapa pelaku meninggalkan surat, namun banyak juga yang melakukannya diam-diam.
Bulan-bulan tertentu juga mencatat lonjakan kasus, terutama pada Maret, Januari, dan September. Hal tersebut diperkirakan terkait dengan perubahan musim, kondisi ekonomi pasca-musim panen, serta siklus pengeluaran rumah tangga.
Menariknya, di luar mitos yang terkesan “serem” itu, Gunungkidul juga dikenal karena kekayaan wisata alamnya yang luar biasa. Bayangkan saja: kabupaten ini memiliki lebih dari 70 pantai yang membentang sepanjang 72 kilometer garis pantai. Jumlah ini menjadikan Gunungkidul sebagai daerah dengan pantai terbanyak di pesisir selatan Pulau Jawa.
Sebagai perbandingan, Bantul hanya memiliki garis pantai sekitar 13 kilometer, sementara Wonogiri memiliki sekitar 7 pantai saja di wilayah selatannya, seperti Pantai Nampu dan Sembukan.
Tidak heran jika setiap akhir pekan dan hari libur, Gunungkidul selalu disesaki wisatawan. Jalur utama Jogja-Piyungan-Patuk-Wonosari kerap padat merayap sejak pagi hari. Pantai-pantai seperti Indrayanti, Baron, Drini, dan Pok Tunggal menjadi magnet utama yang tak pernah kehilangan daya tariknya.
Dua Wajah Gunungkidul
Kisah Gunungkidul seolah berjalan dalam dua arah. Di satu sisi, ia menjadi surga pantai yang memukau, dengan lanskap karst dan pasir putih yang jarang ditemukan di tempat lain. Di sisi lain, bayangan pulung gantung masih menggantung di langit-langit kesadaran kolektif sebagian warganya.
Diperlukan pendekatan yang menyeluruh — bukan hanya pada pembangunan fisik dan infrastruktur wisata, tetapi juga pemulihan mental, peningkatan kesadaran kesehatan jiwa, dan penguatan jaring pengaman sosial di tingkat keluarga dan komunitas.
Dan barangkali, ketika masyarakat Gunungkidul mampu berdamai dengan luka-luka lama, sembari merayakan kekayaan alam yang dimiliki, pulung gantung pun perlahan akan kehilangan cahaya mistisnya. Digantikan oleh cahaya harapan dan kemajuan. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.