Ragam Tanggapan terhadap Larangan Elpiji 3 Kg Dijual di Pengecer

3 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk memastikan pendistribusian subsidi energi berjalan lebih tepat sasaran. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, mulai 1 Februari 2025, Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau biasa disebut elpiji subsidi 3 kilogram (gas melon) hanya dapat dibeli di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina. Langkah ini dilakukan untuk memastikan harga yang sesuai dengan harga ecer tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Pengecer tetap berpeluang menjadi agen resmi dengan mendaftarkan diri melalui sistem One Single Submission (OSS). Pemerintah juga memberikan masa transisi selama satu bulan hingga Maret 2025 untuk mengubah status pengecer menjadi pangkalan resmi.

Kebijakan baru tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Ada yang sepakat, ada pula yang mengkritik kebijakan itu.

Ketua MPR Ahmad Muzani: Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg Pangkas Ongkos Distribusi

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani mengatakan kebijakan pemerintah melarang warung pengecer menjual elpiji 3 kg diharapkan bisa memangkas mata rantai ongkos distribusi dari tingkat agen hingga pengecer, yang selama ini memicu harga menjadi mahal. “Karena kan ada mata rantai yang panjang. Dari agen ke pangkalan, pangkalan biasanya ke pengecer. Pengecer baru pembeli,” kata Muzani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 3 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan faktor lain yang juga menyebabkan kenaikan harga elpiji 3 kg adalah jarak antara lokasi pengecer dan pengguna akhir yang turut berperan dalam peningkatan ongkos logistik.

Muzani menyatakan permasalahan ini sebaiknya ditangani oleh kementerian terkait, sebab dia merasa kurang memahami detail teknis distribusi LPG. “Nanti biar menteri yang bersangkutan yang tahu lah,” katanya.

Dia juga menegaskan pentingnya penyaluran subsidi yang tepat sasaran. “Karena subsidi itu kan sesuatu yang sudah dikeluarkan oleh negara. Maksudnya subsidi itu diberikan kepada mereka yang berhak menerima. Jadi setiap pemerintah harus berupaya untuk mendapatkan kebijakannya agar setiap rupiah yang dikeluarkan tepat sasaran,” ujar dia.

Ombudsman: Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg Tak Selesaikan Persoalan Salah Sasaran Subsidi

Anggota Ombudsman RI Bidang Substansi Ekonomi Yeka Hendra Fatika menilai kebijakan pemerintah melarang pengecer menjual LPG 3 kg tidak menyelesaikan masalah penyaluran subsidi yang selama ini terjadi. “Jadi kalau itu penyebabnya adalah pengawasan. Kalau seperti sekarang, menurut saya, penyakitnya apa obatnya apa, nggak nyambung,” kata Yeka saat ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, Senin.

Dia menceritakan pengalamannya mengawasi penyaluran produk yang disubsidi oleh pemerintah selama dua tahun. Berdasarkan temuannya, penyelewengan harga dari HET tidak hanya dilakukan oleh pengecer, tapi sudah dimulai sejak dari pangkalan resmi Pertamina. “Kami temukan agen meningkatkan harga, pengecer juga, itu kami temukan,” ucapnya.

Yeka juga berpendapat, dengan pengawasan dari pemerintah pusat dan daerah yang ketat, kebijakan margin fee elpiji saja sudah cukup membuat para agen dan pengecer tidak menaikkan harga. “Tidak ada ruang untuk menaikkan harga semaunya. Di tingkat pengecer saja, per kilogram margin fee-nya sekitar Rp 800, berarti keuntungannya sudah Rp 2.400,” kata dia.

Karena itu, Yeka mengatakan menghilangkan pengecer dari rantai pemasok LPG 3 kg tidak menyentuh akar permasalahan. Dia menyarankan agar pemerintah lebih baik memperketat pengawasan, khususnya di tingkat daerah. “Itu mestinya dibenahi dulu, diperkuat dulu pengawasan. Jangan langsung melakukan pola kebijakan baru tanpa dipersiapkan mitigasi sebelumnya,” ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron: Jangan Sampai Masyarakat Dirugikan

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengkritik kebijakan pemerintah yang melarang penyaluran LPG 3 kg ke tingkat pengecer. Herman mengatakan kebijakan pemerintah yang mengharuskan masyarakat untuk membeli gas bersubsidi ke pangkalan resmi itu bisa menjadi tidak efektif. 

“Pangkalan itu kan titiknya ditentukan. Nah kalau satu titik pangkalan apakah bisa menjangkau ke seluruh desa?” ujar Herman. Bila titik pangkatan tidak terjangkau oleh masyarakat, dia menilai masyarakat harus berupaya lebih untuk membeli LPG 3 kg.

Herman menyebutkan masyarakat mungkin harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk menjemput gas subsidi di pangkalan resmi. Karena itu, dia meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan itu. “Harus dipertimbangkan oleh pemerintah, bukan hanya persoalan ketersediaan tapi juga keterjangkauan, bagaimana barang bersubsidi ini bisa sampai kepada yang berhak menerimanya,” ujarnya.

Dia juga tidak heran bila saat ini ada kelangkaan stok gas LPG 3 kg sebagai imbas dari kebijakan tersebut. Sebab, masyarakat kesulitan memperoleh gas melon yang tidak lagi dijual di warung-warung yang selama ini menjadi pengecer dari pangkalan resmi. Masalah kelangkaan itu, kata dia, bukan karena stoknya sedikit, melainkan karena tidak lagi tersedia di tingkat pengecer yang dirujuk masyarakat.

Menurut Herman, kebijakan distribusi gas subsidi harus mengedepankan asas ketersediaan dan keterjangkauan. Selain memastikan jumlah stok yang cukup, pemerintah juga harus merancang kebijakan untuk menjamin LPG 3 kg terjangkau oleh masyarakat yang menjadi target penerima.

“Jangan sampai masyarakat pada akhirnya yang dirugikan. Apalagi nanti bulan puasa, tiba-tiba mau sahur gasnya habis. Masa harus lari ke pangkalan?” kata Herman.

Dian Rahma Fika, Dede Leni Mardianti, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Tuntutan Dosen ASN: Pemerintah Cairkan Tunjangan Kinerja dari 2020 hingga 2024

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |