TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib dalam rapat paripurna di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 4 Februari 2025. Revisi tata tertib DPR diajukan oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR dengan penambahan Pasal 228A di antara Pasal 228 dan Pasal 229 di dalam peraturan tersebut.
Pasal 228A ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.”
Kemudian ayat (2) dari Pasal 228A berbunyi, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Beberapa pejabat negara yang harus melewati uji kelayakan dan kepatutan ditetapkan dalam rapat paripurna di DPR termasuk calon hakim Mahkamah Konstitusional (MK) dan Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Polri.
Revisi tata tertib DPR tersebut mendapatkan kritik dari berbagai kalangan.
Setara Institute: Revisi Tata Tertib DPR Cacat Formil dan Materiil
Setara Institute mengkritik Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang memberi DPR wewenang mengevaluasi pejabat negara hasil uji kelayakan dan kepatutan. Lembaga penelitian itu menilai revisi tata tertib tersebut bersifat cacat formil dan materiil.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mengatakan langkah DPR kali ini merupakan bentuk intervensi keliru atas prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dia khawatir akan dampak yang mungkin muncul dari revisi tata tertib ini, yakni DPR pada akhirnya bisa mencopot pejabat negara lewat evaluasi.
Pasal terbaru dalam Tata Tertib DPR tidak menyebutkan wewenang mencopot jabatan, tetapi menyatakan hasil evaluasi DPR bersifat mengikat. “Tentu bisa berujung pada pencopotan, jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis pada Rabu, 5 Februari 2025.
Hendardi menilai substansi norma Pasal 228A keliru secara formil dan materiil. Sebab, seharusnya, peraturan internal suatu lembaga hanya mengatur urusan lembaga itu sendiri beserta pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga itu. Sedangkan, menurutnya, revisi Tata Tertib DPR melampaui puluhan undang-undang sektoral yang menjamin independensi berbagai lembaga.
Dia juga menilai norma Pasal 228A Tata Tertib DPR bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal itu menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hendardi berkata, frasa itu bertujuan menjamin independensi lembaga-lembaga yang diatur UUD dan memastikan tidak ada peraturan lain yang melemahkan independensi tersebut.
Hendardi meminta DPR berfokus pada tugas utamanya, alih-alih menegakkan ‘supremasi parlemen’ yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD. “Peraturan DPR yang cacat formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan dan jika sudah terlanjur diundangkan, bisa diperkarakan ke Mahkamah Agung, untuk segera dibatalkan,” ucapnya.
KPK: Hanya Presiden yang Bisa Mencopot Pimpinan KPK
Wakil KPK) Johanis Tanak menilai pengangkatan dan pemberhentian pimpinan KPK hanya bisa dilakukan oleh presiden sebagaimana diatur dalam undang-undang. “Betul, tapi Surat Keputusan Pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur mengenai Syarat Pemberhentian Pimpinan KPK,” kata Tanak saat konfirmasi di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Tanak mengatakan pemberhentian dan pengangkatan pejabat juga telah diatur dalam Hukum Administrasi Negara. “Kalau ditinjau dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, Surat Keputusan Pemberhentian Pejabat hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut,” ujarnya.
Berdasarkan Hukum Administrasi Negara, kata Tanak, surat keputusan pengangkatan pejabat juga bisa dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, berdasarkan gugatan yang diajukan oleh orang atau suatu badan yang merasa kepentingannya dirugikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Gerakan Nurani Bangsa: Revisi Tata Tertib DPR Inkonstitusional
Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menilai revisi terbaru Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib bersifat inkonstitusional. Dengan revisi itu, DPR kini bisa mengevaluasi secara berkala terhadap pejabat negara hasil uji kelayakan dan kepatutan.
GNB khawatir, dengan wewenang baru tersebut, DPR bisa mencopot para pejabat negara tersebut. “Hasil revisi Tata Tertib DPR yang beri kewenangan baru bagi DPR untuk bisa mencopot hakim MK, hakim MA, dan komisioner KPK adalah inkonstitusional,” kata Anggota GNB Lukman Hakim Saifuddin dalam keterangan tertulis pada Rabu, 5 Februari 2025.
Lukman mengatakan DPR, MA, MK, dan KPK merupakan lembaga yang setara dan mandiri, sehingga yang satu bukan subordinasi dari yang lainnya. Karena itu, kata dia, hak dan kewenangan DPR seharusnya terbatas pada mengusulkan calon pejabat di lembaga-lembaga tersebut. “Sama sekali tak terkait dengan kewenangan DPR untuk memberhentikan para pejabat lembaga negara dimaksud. Mekanisme pemberhentian mereka diatur tersendiri dalam undang-undang masing-masing lembaga negara,” ujar Lukman.
Dia khawatir DPR bisa sewaktu-waktu mencopot para pejabat negara tersebut, termasuk Panglima TNI, Kapolri, hingga para duta besar. “Bila seperti itu, penerapan sistem ketatanegaraan kita jadi kacau balau,” ucapnya.
Ketua MKMK: Tata Tertib DPR Tidak Mengikat Luar Lembaga
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK I Dewa Gede Palguna, mengatakan tata tertib atau tatib DPR tidak bisa mengikat ke luar lembaga. “Itu kan mengikatnya ke dalam. Misalnya, kapan putusan bisa diambil, bagaimana tata cara memilih ketua dan wakil ketua. Kalau anggota ada yang melanggar, bagaimana tata cara penjatuhan sanksinya,” kata Palguna saat dihubungi Tempo pada Kamis, 6 Februari 2025.
Palguna menepis argumen bahwa tata tertib DPR sebagai fungsi pengawasan legislatif. Dia mengatakan konsep checks and balances dilakukan bukan melalui tata tertib, melainkan lewat undang-undang dan penganggaran. “Memang tidak logis dan tidak boleh. Masa ada pemberhentian hakim konstitusi karena rekomendasi dari DPR? Dari mana ceritanya itu?” ujar Palguna.
Dia menuturkan DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan check and balances dengan mengesahkan tata tertib DPR yang bisa mencopot kepala lembaga. Mantan Hakim Konstitusi ini mempertanyakan bagaimana bisa tata tertib mengikat keluar lembaga. “Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum?” katanya.
Palguna menegaskan, apabila DPR tetap memaksakan tata tertib untuk mencopot kepala lembaga, artinya DPR tidak mau negeri ini tegak di atas Undang-Undang Dasar 1945. “Tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau dan untuk mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini!” ujarnya.
Ketua Baleg Klarifikasi Revisi Tata Tertib: Bukan DPR yang Copot Pejabat
Ketua Baleg DPR Bob Hasan memberi klarifikasi tentang revisi Tata Tertib DPR yang sedang ramai menuai kritik. Dalam revisi tersebut, parlemen memiliki wewenang mengevaluasi secara berkala pejabat negara hasil uji kelayakan atau uji kelayakan dan kepatutan.
Bob mengatakan aturan ini bukan berarti DPR berwenang mencopot pejabat. Dia menyorot berita di media tentang revisi tata tertib baru-baru ini, yang menyebutkan DPR kini bisa mencopot pejabat lembaga negara.
Anggota Komisi III DPR itu menjelaskan kewenangan DPR adalah mengevaluasi, bukan mencopot. “Bukan mencopot. Ya, pada akhirnya pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot,” ujarnya dalam rapat pleno membahas penugasan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh pimpinan DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis.
Bob menjelaskan DPR memang mempunyai wewenang melakukan evaluasi, sebagaimana DPR juga berwenang mengadakan uji kelayakan calon pejabat. Adapun uji kelayakan dilakukan terhadap calon pejabat di masing-masing komisi yang bersangkutan. Lalu para calon pejabat ditetapkan dalam sidang paripurna DPR.
Kemudian, kata Bob, evaluasi berkala yang dilakukan DPR nantinya akan berlangsung setelah para calon pejabat melewati penetapan di sidang paripurna. Hasil evaluasi itu kemudian akan berlaku mengikat secara internal di DPR dan diberikan kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
Nabiila Azzahra, Eka Yudha Saputra, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Reaksi atas Pernyataan Prabowo Ihwal Reshuffle Kabinet