TEMPO.CO, Jakarta -
TEMPO.CO, Jakarta - Lasem, 1940-an. Rumah tua peranakan yang megah, asap hio yang terbakar, dan lantunan musik Mandarin klasik membuka film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) karya Paul Agusta. Adegan pertama mengajak penonton ke prosesi sangjit, pertunangan adat Tionghoa, antara Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, di tengah kemeriahan, Tasya melihat sosok nenek tua. Diam-diam, ia merasa ada yang tidak beres dengan rumah keluarga Salim. Paul Agusta, yang dikenal dengan gaya film yang sangat personal, eksperimental, dan sering mengeksplorasi isu identitas menghadirkan horor yang tidak hanya menakutkan, tapi juga merawat ingatan kolektif tentang budaya peranakan Tionghoa.
Rekonstruksi Visual dari Budaya Tionghoa: Rumah Keluarga Salim
Konflik dimulai saat agenda foto pra pernikahan Salim dan Tasya harus ditunda karena kematian bibi Salim. Sebagai satu-satunya keluarga, Salim harus melakukan ritual penghormatan untuk pemakaman untuk bibinya. Ia lalu mendatangi kediaman bibinya yang tinggal di rumah keluarganya sejak masa lampau.
Pernikahan Arwah menyuguhkan detail budaya Tionghoa yang begitu pekat, mulai dari arsitektur rumah peranakan, altar sembahyang, hingga simbol-simbol kepercayaan leluhur seperti kupu-kupu. Sejak adegan pertama di rumah keluarga Salim, penonton disuguhkan bangunan khas Tionghoa peranakan: fasad merah bata, pintu kayu dengan ukiran emas, serta jendela tinggi berjeruji besi yang seolah menyiratkan sejarah kelam di dalamnya.
Meja altar berdiri megah dengan hio yang mengepul di depan patung dewa dan kertas sembahyang, foto hitam-putih keluarga berbalut cheongsam dan setelan Shanghai tempo dulu juga terlihat berjejer di dinding. Suasana semakin mencekam saat lagu-lagu Mandarin bergema. Rumah ini seolah menjadi medium yang menghubungkan Salim dengan masa lalu, bukan hanya dalam konteks leluhurnya, tapi termasuk sejarah masa pendudukan Jepang yang menjadi subplot dalam film.
Estetika Horor Tak Bergantung pada Kegelapan dan Jumpscare
Kebanyakan film horor Indonesia masih terpaku pada dua pendekatan visual: gelap pekat dengan cahaya redup untuk menciptakan atmosfer seram, atau penuh bayangan dengan pencahayaan minim guna menyembunyikan jumpscare yang akan muncul. Pernikahan Arwah justru memilih horor yang terang, hampir seperti film drama sejarah, tapi tetap mempertahankan nuansa menyeramkan.
Pendekatan ini mengingatkan pada film horor-thriller Midsommar (2019) karya Ari Aster, yang menggunakan cahaya siang sebagai elemen disturbing. Bedanya, Pernikahan Arwah tidak bermain dengan overexposure atau warna mencolok, melainkan menghadirkan pencahayaan natural yang hangat khas rumah-rumah peranakan. Ritual-ritual yang dilakukan dengan khidmat justru lebih menambah kengerian, membuat film ini berbeda dari horor Indonesia kebanyakan.
Tafsir dari Simbolisme Kupu-kupu
Simbol kupu-kupu dalam Pernikahan Arwah menjadi elemen yang menarik sekaligus memperkuat atmosfer mistis dalam film. Dalam budaya Tionghoa, kupu-kupu sering dikaitkan dengan cinta sejati, reinkarnasi, atau transformasi antara dunia hidup dan mati—makna yang selaras dengan inti cerita film ini. Kemunculannya yang berulang di berbagai adegan bukan hanya menjadi ornamen visual, tapi juga membangun lapisan misteri yang secara perlahan terungkap.
Pendekatan Paul Agusta dalam menghadirkan simbol ini patut diapresiasi karena tidak sekadar menyajikannya sebagai elemen estetika. Eksplorasi makna kupu-kupu memang baru mencapai puncaknya di paruh akhir film, namun justru di sinilah keunggulan pendekatan yang digunakan: ia membiarkan penonton menyusun sendiri kepingan-kepingan misteri.
Morgan Oey juga menghidupkan sosok Salim dengan gestur yang tenang tapi menyimpan banyhak kegelisahan. Tanpa perlu banyak bicara, sorot matanya cukup bercerita tentang rasa takut yang ia simpan. Zulfa Maharani sebagai Tasya justru memberi warna berbeda—dinamis, penuh rasa ingin tahu, dan berani terseret ke pusaran teror. Chemistry mereka sebagai pasangan teruji di film ini.
Akting Brigitta Cynthia sebagai Mei Hwa juga patut mendapat pujian. Sebagai arwah leluhur, ia mencuri perhatian dengan atapan kosongnya yang dingin, gerakan tubuh yang kaku, serta vokal Mandarin yang melantun lirih—menciptakan sosok arwah yang meninggal tragis dan menuntut keadilan. Bagi penggemar horor yang terbiasa dengan jumpscare dan adegan serba gelap, film ini mungkin cukup berbeda. Namun, bagi yang menginginkan pengalaman sinematik kompleks, Pernikahan Arwah adalah tontonan tepat karena mengemas horor ke ranah spiritual, budaya, dan sejarah. Film garapan Entelekey Media Indonesia dan Relate Films ini dijadwalkan tayang di bioskop pada 27 Februari 2025.