Ruang Ramah untuk Anak Tumbuh

3 hours ago 8

Oleh: Dewi Mulyani*)

Adanya kasus penamparan murid oleh kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, menyita perhatian publik. Dengan dalih solidaritas terhadap teman mereka yang tepergok merokok di sekolah itu, ratusan siswa setempat memutuskan untuk mogok belajar. Kepala sekolah tersebut juga dilaporkan ke kepolisian.

Di satu sisi, tindakan fisik terhadap anak memang tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain, kita pun perlu jujur bertanya, apakah guru layak dikriminalisasi ketika berusaha menegakkan disiplin? Bagaimana dengan peran orang tua dalam membentuk karakter anak sebelum mereka melangkah ke sekolah?

Merokok di sekolah adalah sebuah pelanggaran serius. Akan tetapi, perbuatan itu tidak muncul tiba-tiba. Hal itu adalah buah dari proses panjang terkait bagaimana pengaruh lingkungan, minimnya pengawasan, hilangnya figur yang baik, dan lemahnya pembentukan karakter sejak dini.

Guru bukanlah satu-satunya sosok pencipta perilaku anak. Ada peran lain, terutama mitra pengelola perilaku yang sudah terbentuk di rumah si anak.

Dalam ajaran Islam, mendidik anak adalah tanggung jawab utama orang tua. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang tua adalah pemimpin di rumah. Mereka adalah pembentuk moral, akhlak, nilai, etika, dan kebiasaan anaknya.

Sesungguhnya, anak belajar dari figur yang dekat dengan dirinya, baik itu orang tua atau pengasuh. Jika anak terbiasa melihat keteladanan di rumah, disiplin di sekolah bukanlah sesuatu yang asing atau sukar dilakukan.

Peran guru dan orang tua

Guru merupakan mitra orang tua dalam mendidik anak. Mereka bukan musuh yang harus dicurigai, apalagi dikriminalisasi.

Tentu, tindakan kekerasan fisik tidak bisa dibenarkan. Namun, kita juga harus melihat konteks peristiwa.

Apakah guru sudah memahami psikologi perkembangan anak? Apakah sekolah mempunyai prosedur operasional standar (SOP) penanganan pelanggaran yang jelas? Apakah orang tua sudah aktif mendampingi anak dalam memahami aturan? Apakah sudah ada kemitraan yang baik antara orang tua dan guru dalam rangka mendidik anak?

Menghadapkan guru ke proses hukum tanpa dialog dan penyelesaian internal justru menciptakan ketakutan di kalangan pendidik. Guru akan enggan menegakkan disiplin. Sekolah pun berubah menjadi tempat yang permisif. Ini tentunya bukan solusi, melainkan awal dari krisis otoritas pendidikan.

Sering kali, orang tua baru muncul ketika anak bermasalah. Mereka bereaksi keras, menuntut, atau bahkan melaporkan guru.

Namun, di mana mereka saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda perilaku menyimpang? Di mana mereka saat anak mulai berbohong, melanggar aturan, atau menunjukkan sikap tidak hormat?

Ruang aman bagi anak bukan berarti bebas dari aturan. Justru, di sanalah anak belajar batasan, tanggung jawab, dan konsekuensi. Namun, semua itu harus dibangun bersama antara orang tua di rumah, guru di sekolah, dan anak sebagai subjek yang aktif.

Pendidikan adalah kerja sama. Orang tua dan guru harus saling mendukung, bukan saling menyalahkan.

Anak-anak butuh ruang aman untuk tumbuh, tetapi juga memerlukan batasan untuk belajar disiplin. Guru perlu dihormati, bukan ditakuti. Orang tua perlu hadir, bukan hanya bereaksi.

Mari kita bangun ekosistem pendidikan yang sehat, tempat anak bisa belajar dari kesalahan, guru bisa membimbing dengan bijak, dan orang tua bisa mendampingi dengan cinta. Sebab, masa depan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga memerlukan peran kita semua.

*) Dewi Mulyani adalah dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Islam Bandung. Ia saat ini juga merupakan Ketua Majelis Kader 'Aisyiyah Jawa Barat.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |