TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus batasan kuota impor terhadap sejumlah komoditas yang menyangkut hidup orang banyak agar bisa menghapus hambatan perdagangan. Keinginannya tersebut pun menuai reaksi dari sejumlah kalangan.
“Siapa yang mau impor, silakan, bebas. Tidak lagi kita tunjuk-tunjuk, hanya ini yang boleh, itu tidak boleh,” kata Prabowo dalam acara sarasehan ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025. Lantas, apa saja pendapat sejumlah pihak soal efek negatif dari kebijakan penghapusan kuota impor itu?
Komisi VI DPR: Mengancam Industri Dalam Negeri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini meminta pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam menerapkan rencana penghapusan kuota impor. Dia mengingatkan adanya potensi banjir produk asal negara-negara maju, seperti Amerika Serikat.
“Dapat mengancam industri dalam negeri, jika tidak diantisipasi dengan baik,” ucap Anggia dalam keterangannya, Rabu, 9 April 2025.
Anggia juga menyoroti berbagai faktor risiko yang perlu diwaspadai. Mulai dari dinamika nilai tukar rupiah, gejolak ekonomi global, hingga perlambatan ekonomi.
“Harus ada mitigasi risiko, terutama terhadap ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) massal jika produksi dalam negeri terganggu,” ujar Anggia.
Indef: Bisa jadi Tsunami bagi Industri Lokal
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai langkah pemerintah yang ingin menghapus kuota impor berisiko merusak ekonomi nasional bila tidak dikawal dengan ketat. Menurut dia, apabila pernyataan Prabowo diterjemahkan menjadi kebijakan tanpa kontrol, maka sama saja dengan mengundang produk-produk asing di tengah pasar nasional yang rapuh.
“Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir saja sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi Cina. Produk-produk murah bahkan ilegal, masuk ke pasar kita dengan mudah. Kalau sekarang lepas rem, gelombang barang murah bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” kata Andry dalam keterangannya, Selasa, 8 April 2025.
Dia pun menyoroti industri padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik yang kini tengah menghadapi gelombang PHK. Andry khawatir, jika keran impor dibuka selebar-lebarnya, maka industri tersebut akan semakin tertekan dan potensi PHK besar-besaran tidak bisa lagi dibendung.
Selain itu, arahan Prabowo bakal berdampak ke iklim investasi. Apabila pasar dalam negeri dibanjiri produk impor murah, menurut Andry, maka para investor dikhawatirkan enggan membangun pabrik di Indonesia.
Dosen Unand: Runtuhnya Ekosistem Pertanian
Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi tak habis pikir dengan keinginan Prabowo yang berencana menyetop kuota impor. Dia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
“Sulit dipercaya bahwa Presiden Prabowo yang selama ini dikenal sebagai sosok yang vokal menentang neoliberalisme dan dominasi asing akan mengambil langkah kontradiktif, seperti menghapus kuota impor sepihak,” ucap Syafruddin dalam keterangannya kepada Tempo, Rabu, 10 April 2025.
Dia menganggap penghapusan kuota impor, terutama untuk komoditas strategis, seperti gula, beras, atau kedelai, secara langsung bertentangan dengan cita-cita swasembada pangan yang tercantum dalam visi-misi pemerintah dan berbagai pidato Prabowo. Menurut dia, swasembada pangan bukan hanya soal ketersediaan stok, tetapi juga kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri tanpa ketergantungan berlebihan pada negara-negara lain.
“Jika kebijakan impor dibuka tanpa kontrol, maka yang terjadi bukan penguatan ketahanan, tetapi pembiaran terhadap runtuhnya ekosistem pertanian nasional,” ujar Syafruddin.
Dia menjelaskan, runtuhnya ekosistem pertanian yang dimaksud bisa berupa petani akan kehilangan insentif untuk menanam, pasar lokal dibanjir produk asing, dan harga barang dalam negeri jatuh. Dalam jangka panjang, lanjut dia, hal tersebut akan melemahkan fondasi pangan nasional dan semakin menjauhkan Indonesia dan mimpi menjadi bangsa berdikari di sektor pangan.
Oleh karena itu, menurut dia, apabila Prabowo ingin memegang teguh janji politiknya mengenai kedaulatan dan anti-neoliberalisme, maka pembukaan keran impor tanpa batas justru dianggap bukan pilihan yang tepat.
“Justru yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas lewat teknologi dan infrastruktur, serta perlindungan cerdas yang disertai dengan evaluasi performa supaya swasembada pangan benar-benar tercapai, bukan hanya menjadi slogan kampanye,” kata Syafruddin.
Annisa Febiola, Alfitria Nefi Pratiwi, Anastasya Lavenia Y, Han Revanda Putra, dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.