Sederet Pasal Bermasalah dalam Draf RUU Polri Menurut YLBHI

2 days ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan RUU TNI, masyarakat sipil khawatir lembaga tersebut juga akan mengesahkan RUU Polri dalam waktu dekat. Kekhawatiran tersebut disampaikan dalam demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil di depan gedung DPR pada Kamis, 27 Maret 2025.

Di tengah gelombang penolakan terhadap pengesahan RUU TNI, yang kini telah resmi menjadi undang, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan DPR tidak akan membahas RUU Polri dalam waktu dekat. “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” kata Dasco saat dihubungi Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem Komisi Hukum DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan pihaknya siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak.

Namun, kata dia, saat ini Komisi Hukum DPR masih memprioritaskan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, yang ditargetkan rampung pada Oktober 2025. “Saat ini, Komisi III masih KUHAP, tentu kalau dipandang mendesak juga dibahas RUU Kejaksaan, RUU Kepolisian, kami siap saja di Komisi III untuk membahas itu,” kata Rudianto.

Pasal bermasalah dalam draf RUU Polri

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan perubahan UU Polri gagal menjawab desakan publik terhadap reformasi kepolisian. Dalam draf RUU Polri yang dipublikasi di laman dpr.go.id, kata Isnur, setidaknya terdapat 12 pasal yang semakin memperbesar kewenangan kepolisian. Perluasan kewenangan tersebut, kata dia, tidak dibarengi dengan pengawasan institusi Polri.

Nihilnya peningkatan pengawasan dalam draf RUU Polri, kata Isnur, berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga yang superbody. Di antara pasal-pasal bermasalah tersebut, salah satunya menyangkut soal kewenangan tanpa batasan yang jelas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 14 draf RUU Polri.

Dalam Pasal 14 ini disebutkan 16 tugas pokok kepolisian. Salah satu pasal yang menjadi sorotan yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf a. Pasal ini berbunyi “melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.”

Menurut Isnur, frasa “sesuai kebutuhan” dalam klausul tersebut membuka peluang penggunaan Polri dalam jasa pengamanan atau pengawalan dan patroli. 

Selain pasal di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mencatat pasal bermasalah lainnya dalam RUU Polri, yaitu:

  1. Pasal 14 ayat 1 huruf e

Pasal ini menyatakan bahwa polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional. Menurut koalisi, pasal ini menimbulkan ketidakjelasan tentang kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM, dan berpotensi tumpang tindih.

  1. Pasal 14 ayat 1 huruf g

Pasal ini menyatakan bahwa Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, dan bentuk pengamanan swakarsa. Berdasarkan pasal tersebut, pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS sebagai penyidik semakin menjauhkan independensinya.

  1. Pasal 14 ayat 1 huruf o

Pasal ini mengatur soal tugas kepolisian melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan.

Kewenangan ini dianggap dapat menimbulkan disparitas dengan kewenangan lembaga penegak hukum lain seperti KPK. Namun, kekhawatiran lebih besar akibat aturan tersebut tidak dicantumkan keharusan anggota kepolisian mendapat izin jika ingin melakukan penyadapan seperti halnya KPK yang harus dapat izin dari Dewan Pengawas KPK.

  1. Pasal 14 ayat (2) huruf c

Pasal ini mengatur ihwal kewenangan Polri sebagai penyelenggara sistem kota cerdas (smart city) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan.

  1. Pasal 16 ayat (1) huruf n

Koalisi menyatakan pasal ini memberikan kewenangan terhadap Polri untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM.

Pasal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian

  1. Pasal 16 ayat 1 huruf p 

Pasal ini menyebutkan kepolisian memiliki wewenang menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum.

Menurut koalisi, pasal ini membuat Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.

  1. Pasal 16 ayat 1 huruf q

Pasal ini menyatakan Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.

Pasal ini, menurut koalisi mengancam kebebasan berpendapat dalam ruang public akibat adanya wewenang intervensi polisi atas ruang siber.

Tindakan memperlambat dan dan pemutusan akses itu pernah dilakukan pada 2019 lalu untuk meredam aksi di Papua dan Papua Barat. Tindakan ini oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai perbuatan melawan hukum. Tidak hanya kewenangan tersebut, campur tangan polri membatasi ruang siber juga dinilai mengambil kewenangan yang dimiliki Badan Sandi dan Siber Negara serta Kementerian Komunikasi dan Digital.

  1. Pasal 16A dan 16B

Kedua pasal ini mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional serta perluasan terhadap kewenangan Intelkam guna mengamankan kepentingan nasional.

Koalisi menilai dengan pasal ini Polri akan memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). 

Perluasan terhadap Intelkam Polri untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional juga tidak membatasi seluas apa batas kepentingan nasional di bawah kewenangan Polri.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |