Seknas Fitra Pertanyakan Komitmen Asta Cita Prabowo

21 hours ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mengatakan momentum Hari Perempuan Internasional harus menjadi pengingat bahwa penghapusan kemiskinan yang dihadapi perempuan dan keadilan gender perlu didukung oleh komitmen anggaran yang konkret, transparan, dan berkeadilan. Peneliti Fitra Siska Barimbing utamanya menyoroti pemangkasan anggaran yang menyasar sejumlah program yang berkenaan langsung dengan pemenuhan hak perempuan.

Siska berpendapat kebijakan pemangkasan anggaran justru menunjukkan Presiden Prabowo Subianto tidak berkomitmen untuk mewujudkan janji Asta Cita keempat, yakni memperkuat kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, dan penyandang disabilitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tanpa komitmen anggaran, janji untuk memperkuat kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, dan penyandang disabilitas hanya aksesoris belaka,” kata Siska dalam keterangan resmi yang diterima Tempo, Sabtu, 8 Maret 2025.

Seknas Fitra mencatat terdapat pengurangan Anggaran Responsif Gender (ARG) di pemerintahan Prabowo. Berdasarkan data Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), proporsi ARG terhadap total belanja kementerian/lembaga tahun 2025 mengalami penurunan drastis. 

Tahun ini, ARG ditetapkan hanya sebesar Rp 26,3 triliun atau 2,7 persen dari total APBN 2025. Padahal, pada 2021 total ARG tercatat Rp 55,46 triliun. Kemudian, ARG mengalami peningkatan menjadi Rp 63,61 triliun  pada 2022, dan sempat menyentuh angka Rp 70,02 triliun pada 2023. “Hal ini tentu berdampak pada kepastian program yang menyasar perempuan, terutama program pada perempuan miskin,” ujar Siska.

Tak hanya itu, Siska pun menyoroti pemangkasan anggaran besar-besaran yang terjadi di kementerian/lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). KemenPPPA mengalami pemangkasan hingga 48,86 persen dari pagu awal sejumlah Rp 300,6 miliar menjadi Rp 153,7 miliar. Sementara Komnas Perempuan hanya mendapatkan anggaran sebanyak Rp 28,9 miliar dari pagu awal sebesar Rp 47,7 miliar. “Pemangkasan ini mengakibatkan kedua lembaga ini tidak dapat melaksanakan fungsinya sesuai kewenangannya,” kata Siska. 

Menurut Siska, tanpa anggaran yang berpihak pada perempuan, kesetaraan gender hanya akan menjadi wacana tanpa perubahan nyata. “Perempuan Indonesia patut untuk menggugat janji ini,” ujar dia.

Ia menyinggung data Badan Pusat Statistik yang mengungkapkan bahwa jumlah perempuan Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 9,20 persen pada 2024. Artinya, kata Siska, masih terdapat 8,71 juta perempuan dan 3,97 juta anak perempuan yang hidup tidak layak atau miskin. Hal ini menjadi tugas besar bagi pemerintah untuk diatasi. Dalam lima tahun terakhir, yakni sepanjang 2021 hingga 2025, Anggaran Perlindungan Sosial rata-rata mencapai Rp 270 triliun atau 12 persen dari total belanja pemerintah pusat. “Namun belum secara signifikan berimplikasi terhadap kemiskinan yang dihadapi perempuan,” katanya.

Seknas Fitra pun merekomendasikan sejumlah hal yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Prabowo. Siska mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan perlu mengembalikan besaran anggaran bagi KemenPPPA dan Komnas Perempuan sebagaimana pagu awal 2025. Bahkan, ia berpendapat, pemerintah justru perlu menambah anggaran kedua lembaga itu. 

Kemudian, pemerintah pusat dan daerah juga perlu memastikan jalannya program perlindungan sosial semakin transparan, akuntabel, dan kredibel sehingga tepat sasaran atau dapat dirasakan manfaatnya oleh perempuan miskin dan kelompok rentan. 

Siska juga berujar, Kementerian Sosial bekerja sama dengan KemenPPPA dan Tim Percepatan Penurunan Kemiskinan perlu secara serius memperluas cakupan program perlindungan sosial. “Terutama difokuskan bagi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan dan rentan miskin – termasuk perempuan kepala rumah tangga, perempuan lansia, anak perempuan, dan perempuan dengan disabilitas,” tutur dia.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |