Sinopsis Pengepungan di Bukit Duri: Indonesia dalam Distopia dan Trauma Kekerasan

16 hours ago 12

TEMPO.CO, Jakarta - Pengepungan di Bukit Duri, film garapan Joko Anwar, mengajak penonton memasuki dunia yang penuh ketegangan, kekerasan, dan kegelapan. Berlatar pada 2027, film ini menggambarkan kehancuran sebuah negeri akibat sejarah kekerasan yang tak pernah selesai.

Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti keturunan Tionghoa, menjalani kesehariannya penuh kehati-hatian. Ia sadar, identitasnya bisa jadi pemicu bahaya. Topi menjadi alat penyamaran kecil di tengah dunia yang memburuk: Indonesia pada 2027 mengalami distopia yang bukan lahir dari mesin canggih atau invasi luar angkasa, melainkan dari sejarah kekerasan yang tak pernah benar-benar diurai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari-hari, Edwin menghadapi Jakarta yang porak poranda—gelap, kumuh, penuh coretan kebencian dan bahasa kekerasan. Upaya damai lewat demonstrasi, poster-poster dan slogan rekonsiliasi tenggelam dalam teriakan rasis, umpatan kasar, lemparan batu, serta serangan kekerasan yang terang-terangan dilakukan di ruang terbuka. 

Edwin, yang kenyang mengalaminya sejak remaja, tumbuh menjadi seorang guru pengganti yang idealis. Profesinya sebagai guru, sebetulnya tak semurni itu, Edwin punya misi sendiri yang membawanya menjadi seorang guru seni yang kerap berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain. “Lo harus cari anak gue,” ujar kakaknya satu waktu menjelang ajal. Ya, Edwin punya tujuan mencari keponakannya, satu-satunya keluarga yang tersisa.

Pencarian satu-satunya keluarga yang ia punya berakhir di Timur. Sekolah terakhir yang belum pernah disambanginya, SMA Duri, adalah sebuah sekolah di Jakarta Timur yang dikenal karena berisi berandal dan murid-murid bermasalah.

Upaya pencarian Edwin rupanya tak mudah. Ia sendiri terjebak dalam ketidaktahuan dan kebingungan soal identitas serta keberadaan keponakannya. Keyakinan Edwin, membuatnya terjebak dalam asumsi dan prasangka yang menjebak dirinya tidak membuka ruang untuk melihat kemungkinan lain.

Kegagalan Edwin membaca lanskap sosial yang ia masuki–alih-alih lebih berempati dan berstrategi–walau berakar dari niat tulus, justru memicu kecurigaan, resistensi, bahkan kekerasan di sekolah yang baru ia datangi. Edwin pun harus berurusan dengan Jefri (Omara Esteghlal) dan kawan segengnya–murid-murid bengis nan sadis yang terang-terangan membenci bahkan tak ragu membunuh etnis Tionghoa seperti Edwin.

Pencarian Edwin dan kekelaman Indonesia 2027 itu jadi suguhan anyar Joko Anwar tahun ini dalam film panjang berjudul Pengepungan di Bukit Duri. Film berdurasi nyaris dua jam ini rasanya menyuguhkan ketegangan dan kengerian lebih dari film horor Joko lainnya seperti Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), Siksa Kubur (2024).

Adegan film Pengepungan di Bukit Duri (2025)

Dalam Pengepungan Bukit Duri Joko Anwar menghadirkan ketegangan dan aksi kekerasan nyaris tiada henti dalam ruang terisolasi. Namun, di balik kekerasan itu, menurut sutradara kelahiran Medan 1976 ini, ada alasan mendalam yang mendasari pilihan cerita dan latar yang ia gunakan. "Kami membuat film ini untuk orang-orang yang peduli dengan situasi Indonesia," kata Joko.

Dalam sebuah kesempatan sutradara yang memulai debut penyutradaraannya lewat film Janji Joni (2005) ini mengaku mulai menggarap skenario Bukit Duri pada 2007-2008. "Saat itu, aku berharap mungkin setahun lagi, atau dua tahun lagi, semua ini sudah tidak ada lagi," tutur Joko. Meski sudah hampir dua dekade berlalu, rupanya isu-isu dalam film barunya ini—seperti kegagalan sistem pendidikan, kekerasan di sekolah, dan diskriminasi sosial—masih relevan.

Joko juga menegaskan unsur kekerasan dalam hampir setiap adegan di film ini semata-mata untuk memberikan gambaran utuh kepada penonton tentang permasalahan yang ingin ia angkat. "Seringkali kita menciptakan citra untuk menghindari kenyataan. Film ini dibuat dengan sangat terukur untuk menampilkan realitas yang ada di masyarakat," jelas Joko. Joko pun menyisipkan trigger warning atau peringatan konten di awal film—karena ada adegan kekerasan, trauma, hingga ujaran kebencian ditampilkan secara gamblang.

Dalam Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar menyuguhkan dunia gelap akibat gagalnya sistem. Berlatar 2027–ya, dua tahun dari saat ini–film ini menyuguhkan gambaran sebuah negeri di ambang keruntuhan: diskriminasi merajalela, kekerasan menjadi bahasa sehari-hari, dan institusi pendidikan kehilangan fungsi utamanya.

Sekolah, yang semestinya menjadi tempat aman dan penuh harapan untuk masa depan, malah berubah menjadi arena keji berdarah. SMA Bukit Duri bukan hanya tempat anak-anak bermasalah, tetapi juga simbol masyarakat yang sudah lama mengabaikan luka kolektifnya.

Di sinilah Joko menghadirkan dunia distopia: kekuasaan dan sistem yang gagal, bukan karena runtuh secara fisik, tetapi karena hilang arah secara moral. Guru-guru tidak lagi berjuang mencerdaskan, melainkan hanya bertahan hidup. Anak-anak tidak lagi mencari ilmu, tapi membalas dendam atas luka yang terus diwariskan. Tak ada lagi keadaan ‘menghormati guru, menyayangi teman’ seperti dalam lagu Pergi Belajar ciptaan Saridjah Niung atau Ibu Sud itu.

Film ke-11 Joko Anwar ini menyoroti bagaimana kekerasan tumbuh subur ketika negara tidak lagi mampu, bahkan tidak mau mengupayakan rekonsiliasi. Kekerasan ditampilkan sebagai bagian sistem yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Dari generasi ke generasi, kekerasan akhirnya hanya berpindah, diperburuk, dan diperpanjang ketidaktahuan yang diwariskan sehingga menjadi siklus turun-temurun, dan dilestarikan sistem pendidikan yang bobrok serta negara yang abai.

Pengepungan di Bukit Duri menjadi peringatan kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan jika kita terus menghindar dan gagal memperbaiki sistem yang menyakiti generasi berikutnya. Melalui film ini, Joko mengajak penonton melihat ke dalam.

Menurutnya, ini adalah cerminan membiarkan sistem terus berjalan tanpa koreksi, yang memilih lupa alih-alih menghadapi kenyataan, dan yang membiarkan anak-anak tumbuh dalam kepingan sejarah yang tak pernah direkonsiliasi utuh.

Sehingga jelas di dalamnya, Joko tak menghadirkan tokoh heroik dan tidak terjebak dalam dikotomi baik atau jahat. Joko memilih jalan menghadirkan karakter-karakter dengan warisan traumanya masing-masing yang juga menghadapi ambiguitas moral. “Kita akan mengasihani masing-masing tokoh di film ini,” ujar Joko. “Kasihan banget sebenernya mereka itu.”

Fokus Joko menelanjangi sistem. Salah satunya, pendidikan yang seharusnya bisa membentuk manusia justru membiarkan luka diwariskan tanpa penyembuhan. Tidak ada ruang bagi rekonsiliasi. Tidak ada ruang untuk mendengar suara yang berbeda. Hingga tersisa pembiaran terhadap generasi yang tumbuh dengan kemarahan, mengulang kekerasan yang diwariskan orang tua, guru, bahkan negara.  “Kita sering menghindari hal-hal sulit: seperti trauma, kekerasan, ketimpangan sosial. Tapi luka itu tidak akan hilang hanya dengan dilupakan,” kata Joko.

Selain dibintangi dibintangi Morgan Oey, Hana Malasan, Landung Simatupang, Joko melibatkan sejumlah pemain muda yang menyegarkan industri film Tanah Air di antaranya Omara Esteghlal, Fatih Unru, Endy Arfian, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Fariz Fadjar, Florian Rutters, Farandika, Raihan Khan, dan Sandy Pradana.

Pengepungan di Bukit Duri adalah film produksi bersama antara studio Hollywood Amazon MGM Studios dan Come and See Pictures. Ini menjadi kolaborasi pertama antara rumah produksi Indonesia dengan studio legendaris Hollywood tersebut.

Di tengah kondisi saat ini, film ini jadi peringatan soal apa yang bisa terjadi jika sistem yang ada terus mengabaikan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan betapa kekerasan bisa tumbuh subur ketika negara dan sistem pendidikan gagal menjalankan fungsinya.

Pengepungan di Bukit Duri (2025)

Sutradara: Joko Anwar

Skenario: Joko Anwar

Produser: Joko Anwar, Tia Hasibuan

Aktor: Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Farandika, Raihan Khan, Sheila Kusnadi, Millo Taslim, Bima Azriel, Landung Simatupang, Emir Mahira.

Rilis: 17 April 2025

Distributor: Amazon MGM Studios

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |