TEMPO.CO, Jakarta - Dua perwakilan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) mengikuti Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka pada Kamis, 27 Februari 2025. Mereka datang dari Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara (Sumut).
Kedua wakil petani Sumut itu adalah Misno (62 tahun) dan Suherman (71 tahun). Dua pria kurus berbatik itu mengikuti acara dengan takzim. Mereka memperhatikan setiap orasi, pembacaan puisi, hingga penampilan musik oleh peserta Aksi Kamisan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kira-kira pukul 16.09, Misno mendapat kesempatan berorasi. Ia mengatakan, setuju tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diungkapkan peserta aksi. Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya juga mengalami hal serupa.
"Sejak 1970, bukan hanya sebatas orang yang hilang," kata Misno di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada Kamis, 27 Februari 2025. "Enam desa hilang, empat desa diperkecil dan tiga desa tidak tersisa."
Ia menjelaskan, pada tahun tersebut, warga enam desa tersebut mengalami penggusuran paksa. Pada petani itu terus berjuang saat reformasi pada 1998 lewat berbagai demonstrasi maupun surat-surat kepada para pejabat.
"Jadi pada 2009, kami beranikan diri untuk me-reclaiming atau menguasai lahan seluas 83,5 hektare," tutur Misno.
Lahan Perkebunan Padang Halaban itu mereka pertahankan hingga saat ini. Sehingga sudah 16 tahun tanah tersebut mereka duduki kembali.
Namun, lahan tersebut akan dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang memutuskan lahan tersebut dikuasai oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk atau PT SMART Tbk. Korporasi itu adalah anak usaha Sinar Mas Group.
Eksekusi akan dilakukan pada Jumat, 28 Februari 2025. Ia menuturkan, bulldozer bahkan tentara dan polisi sudah berjaga di wilayah mereka. "Sekarang kami akan menjadi korban untuk kedua kalinya," ucapnya.
Sengketa Lahan Perkebunan Padang Halaban
Tanah seluas 83,5 hektare yang diduduki Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya berada di Desa Panigoran, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Hak guna usaha atau HGU lahan itu dimiliki oleh PT SMART Tbk. Kendati demikian, tanah itu pernah dikuasai oleh eks buruh perkebunan asing.
Anggota Dewan Pengarah International People's Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965) Reza Muharam ikut mendampingi Misno dan Suherman dalam audiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia menuturkan, warga Padang Halaban adalah keturunan pekerja migran dari Jawa yang dibawa Belanda pada 1930-an untuk bekerja di perkebunan-perkebunan asing.
Ia mengatakan, mereka sudah mendapat semacam surat hak milik (SHM) pada 1950-an. Adapun yang dia maksud adalah Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah setempat.
"Secara legal, mereka eksis, ada, bukan tiba-tiba menduduki lahan orang," kata Reza dalam audiensi di kantor Komnas HAM, Kamis.
Eks buruh perkebunan asing di lahan tersebut pun mendirikan desa-desa, yaitu Desa Sidomulyo, Desa Sidodadi, Desa Purworejo, Desa Kartosentono, Desa Sukadame, dan Desa Karang Anyar.
Menurut peneliti Agrarian Resource Center/ARC, Dianto Bachriadi, dalam tulisan bertajuk 'Genosida di Padang Halaban (Sebuah Rekonstruksi Awal)', desa-desa itu berada di lahan Perkebunan Padang Halaban seluas 3.200 hektare. Keenamnya tercatat sebagai satuan desa administratif di Kabupaten Labuan Batu sejak 17 Oktober 1945.
Pendudukan lahan itu sudah dilakukan eks buruh-buruh kebun yang tinggal di sekitar maupun di dalam Perkebunan Padang Halaban sejak 1943-1945. Ini berkat dorongan Tentara Jepang, serta Soekarno yang menyerukan bahwa pendudukan tanah-tanah bekas perkebunan asing adalah bagian dari perjuangan revolusi untuk mencapai kemerdekaan.
Adapun lahan perkebunan sawit di Padang Halaban sebelumnya merupakan konsesi perusahaan Sumatera Caoutchouc Maatschappij NV Merbau atau SUMCAMA NV yang kantor pusatnya di Brussel, Belgia. Sedangkan perkebunan di wilayah Panigoran--sebelah Padang Halaban--adalah konsesi perusahaan Sungei Buaja Rubber Co Ltd yang kantor pusatnya di London, Inggris.
Pada akhir 1958, pemerintahan Soekarno menasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, termasuk SUMCAMA NV dan Sungei Buaja Rubber Co Ltd. Ini dilakukan lewat penerbitan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda dan peraturan-peraturan turunan lain.
Pada 1962, pemerintahan Soekarno menerbitkan sertifikat hak guna usaha (HGU) untuk PT Serikat Putra seluas 372 hektare yang terletak di Desa Panigoran. Tanah ini adalah eks kebun Panigoran yang dimiliki Sungei Buaja Rubber Co Ltd. Sementara pada 1968 setelah Orde Baru berkuasa, pemerintah mengembalikan kembali seluruh kebun Padang Halaban milik SUMCAMA NV, yang sekarang bernama Plantagen Aktiengesellschaft atau Plantagen AG.