TEMPO.CO, Jakarta - TNI sedang mengkaji pelanggaran etik sejumlah prajurit militer yang terlibat penyerangan Polres Tarakan, Kalimantan Utara. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan upaya ini untuk mendukung pada proses hukum pidana militer.
"Selain proses hukum pidana militer, tindakan para prajurit juga sedang dikaji dari aspek disiplin dan etika militer," ucap Hariyanto dalam keterangan pesan singkat saat dihubungi Tempo pada Senin, 3 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariyanto mengatakan lembaganya selalu menindak anggota TNI yang berperilaku arogan. Penindakan ini dengan menyelaraskan kaidah keprajuritan sesuai dengan kode etik militer. "TNI menegaskan bahwa setiap pelanggaran nilai-nilai keprajuritan akan ditindak secara tegas sesuai dengan kode etik militer," kata dia.
Menurut Hariyanto, hasil dari pemeriksaan kode etik militer ini akan mempengaruhi sanksi yang akan diberikan kepada anggota TNI. Ia mengatakan semua sanksi dari pelanggaran tersebut akan diberikan sesuai aturan yang berlaku. "Hasil pemeriksaan etik ini akan menentukan sanksi tambahan yang bisa berupa tindakan disiplin dan sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ia mengatakan selama ini regulasi tersebut berpotensi menimbulkan impunitas terhadap anggota TNI. "Seperti selama ini menghasilkan impunitas, anggota TNI tidak takut untuk melakukan tindak pidana," ucap Husein saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 28 Februari 2025.
Menurut Husein, impunitas tersebut membuat anggota TNI kebal terhadap hukum jika melakukan tindak pidana. Sebab, kata Husein, UU Peradilan Militer mengatur tentang jalannya kehakiman di lingkungan militer jika prajurit tersandung kasus hukum pidana.
Adapun isi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan pengadilan Militer Pertempuran. Pada pasal 1 ayat 4 UU Peradilan Militer berbunyi hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama, yang selanjutnya disebut hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
Husein menganggap bahwa peradilan militer yang terlalu lemah dalam memberikan efek jera bagi anggota TNI. Ia mengatakan konsekuensi ini seperti tidak ada pemberian sanksi yang lebih berat jika prajurit militer melakukan tindak pidana.
Husein turut menyoroti sejumlah keputusan hakim pengadilan militer terhadap berbagai kasus yang melibatkan anggota TNI. Menurut dia, selama ini keputusan pengadilan militer tidak memberikan efek jera bagi para prajurit militer yang telah melakukan tindak pidana. "Selama masih ada dalam peradilan militer dan tidak ada peradilan sipil yang terbuka, semua orang bisa lihat hakim dan jaksanya masih anggota militer, akan sulit berharap akan ada penjeraan ya," ujarnya.
Penyerangan Polres Tarakan oleh puluhan anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 614/RJP) terjadi pada Senin malam, 24 Februari 2025. Akibat penyerangan itu, enam polisi luka-luka. Pangdam VI/Mulawarman Mayjen TNI Rudy Rachmat Nugraha mengatakan serangan tersebut dipicu peristiwa pengeroyokan terhadap seorang anggota Yonif 614/RJP oleh sekitar lima orang personel Polres Tarakan pada Sabtu, 22 Februari 2025. Peristiwa tersebut sempat ingin diselesaikan melalui mediasi. Dari hasil mediasi awal antara pihak anggota Polres Tarakan dan anggota Yonif 614/RJP menyepakati bahwa pengeroyok yang terlibat akan memberikan biaya pengobatan sebesar Rp10 juta kepada korban, namun janji tersebut tidak kunjung direalisasikan hingga akhirnya puluhan prajurit mendatangi markas Polres Tarakan.