UNIDA Gontor: Ketika Kampus Menjadi Pesantren dan Pesantren Menjadi Kampus

10 hours ago 9

REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO — Angin sore membawa aroma khas tanah pesantren ketika derap langkah mahasiswa berseragam rapi memenuhi halaman utama Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.

Dari kejauhan, kampus berarsitektur megah itu tampak hidup; santri-mahasiswa bergegas menuju asrama, sebagian lagi tampak sibuk di laboratorium riset, dan di sudut taman, sekelompok mahasiswa tengah berlatih pidato berbahasa Arab.

Tidak ada batas tegas antara kehidupan akademik dan kehidupan pesantren. Di sinilah keunikan UNIDA Gontor: sebuah universitas yang memadukan sistem perguruan tinggi modern dengan kultur kepesantrenan yang kental. “Kami belajar di kelas, tapi kami juga belajar di asrama, di masjid, dan bahkan di dapur,” ujar Ahmad Fauzan, mahasiswa semester lima yang kini menjabat ketua organisasi mahasiswa. “Hidup di sini adalah pendidikan yang berjalan 24 jam.”

Fenomena itulah yang kemudian diangkat oleh Prof. Dr. Mohammad Muslih, MA., dalam bukunya Potret UNIDA Gontor sebagai Perguruan Tinggi Bersistem Pesantren, sebuah karya yang merekam perjalanan, sistem, dan jiwa pendidikan Gontor yang kini tumbuh menjadi universitas berkelas internasional tanpa kehilangan ruh pesantrennya.

Dari Pondok ke Universitas: Warisan yang Dihidupkan

Semuanya berawal dari Pondok Modern Darussalam Gontor yang berdiri pada tahun 1926. Didirikan oleh tiga tokoh karismatik—Trimurti: Ahmad Sahal, Zainuddin Fananie, dan Imam Zarkasyi—pondok ini membawa semangat pembaruan pendidikan Islam. Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu mewujud dalam bentuk universitas modern yang tetap bernafas dengan nilai-nilai pesantren.

Buku Muslih menggambarkan UNIDA sebagai lembaga yang berhasil menjadikan pesantren bukan hanya latar sejarah, melainkan sistem hidup yang menggerakkan seluruh organ universitas. Di bawah manajemen berbasis wakaf dan kepemimpinan kolektif, UNIDA tumbuh menjadi institusi mandiri—secara intelektual, spiritual, dan finansial.

Sistem wakaf produktif menjadi pondasi utama. Semua aset kampus, mulai dari gedung, tanah, hingga unit usaha, bukan milik individu. “Kemandirian ini adalah wujud nyata dari jiwa berdikari yang diwariskan Gontor,” tulis Muslih. Dengan sistem ini, universitas tidak bergantung pada bantuan eksternal, tetapi hidup dari produktivitas dan solidaritas internal.

Panca Jiwa yang Menjadi Napas Kampus

Di balik struktur akademik yang tertata rapi, ada ruh yang menghidupi seluruh aktivitas: Panca Jiwa—keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Kelima nilai ini bukan sekadar slogan, tetapi cara hidup yang dirasakan di setiap sudut kampus.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |