TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang menjatuhkan vonis lebih berat terhadap terdakwa kasus korupsi timah dinilai mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut bahwa meskipun putusan lebih berat dari tuntutan jaksa, selama masih dalam batas maksimal ancaman pidana, hal itu sah menurut hukum.
"Ultra petita dalam suatu putusan pidana menggambarkan rasa keadilan dalam masyarakat yang diadopsi oleh hakim," ujar Abdul Fickar kepada Tempo saat dihubungi Selasa, 18 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab menurut dia, korupsi, khususnya pada kasus Harvey Moeis cs merupakan kejahatan yang merugikan negara dan berdampak langsung pada kesejahteraan publik. Oleh karena itu, hakim memiliki kewenangan menjatuhkan hukuman yang lebih berat sebagai upaya memberikan efek jera dan perlindungan terhadap kepentingan umum.
Dosen hukum pidana Universitas Andalas, Nani Mulyati, menambahkan bahwa putusan ultra petita dalam perkara korupsi dapat dijustifikasi sepanjang tetap mempertimbangkan asas legalitas dan kepastian hukum. "Hakim memiliki kewenangan untuk tidak terikat sepenuhnya pada tuntutan JPU, selama putusan tersebut didasarkan pada fakta yang terbukti di persidangan dan prinsip keadilan," ujar Nani saat dihubungi terpisah.
Ia menekankan bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang pada perkara ini, vonis berat dapat dijadikan sebagai alat untuk memberikan efek jera dan mencerminkan keadilan bagi masyarakat yang terdampak secara ekonomi, "Dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang dengan terpidana Harvey Moeis, hakim memutus ultra petita untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi masyarakat." Oleh karena itu, hakim dapat mempertimbangkan untuk memberikan hukuman yang lebih berat sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum.
Dosen hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta, menambahkan bahwa hakim memiliki kebebasan dan independensi dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa perkara pidana. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Secara yuridis, memang hakim tidak terikat pada tuntutan JPU, jadi hakim bebas dan independen dalam menjatuhkan lamanya pidana," kata Orin. "Faktor mentalitas keberanian dan independensi hakim."
Menurut dia, keputusan hakim dalam suatu perkara mencerminkan pola pikir dan nilai-nilai yang dianutnya, terutama dalam bagian pertimbangan putusan. Oleh karena itu, dalam kasus vonis maksimal terhadap terdakwa korupsi, keputusan hakim bisa dianggap sebagai bentuk orientasi progresif yang mengutamakan keadilan bagi masyarakat.
Harvey Moeis dkk sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi tata kelola niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Jaksa tidak terima dengan vonis majelis hakim PN Tipikor Jakarta Pusat, mereka lantas mengajukan banding. Hukuman Harvey dkk itu akhirnya diperberat.
Harvey, misalnya, dari yang semula divonis 6,5 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 210 miliar. Hukuman Harvey Moeis diperberat menjadi 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 240 miliar. Kemudian Helena Lim yang semula divonis 5 tahun, denda Rp 750 juta, dan uang pengganti Rp 900 juta diperberat menjadi hukuman penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 900 juta.
Lalu, Mochtar Riza yang semula dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juta menjadi hukuman penjara 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 493,3 miliar. Sementara Suparta yang semula divonis 8 tahun, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4,57 triliun diperberat menjadi 19 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 4,57 triliun.
Kemudian Reza yang semula divonis 5 tahun denda Rp 750 juta menjadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 750 juta. Semua vonis tersebut lebih berat ketimbang dakwaan JPU. Andi mengatakan meski kuasa hukum telah mendengar isi vonis hakim, namun ia akan tetap menunggu salinan putusan resmi dan akan mengkaji kembali pertimbangan hakim.